INDONESIA menghadapi ancaman krisis air bersih yang semakin nyata. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencatat bahwa dua wilayah besar, yakni Jawa serta Bali-Nusa Tenggara, telah memasuki fase kritis air dalam beberapa tahun terakhir.
“Di Jawa, tahun 2024 lalu, kita sudah kekurangan 118 miliar meter kubik air per tahun untuk memenuhi kebutuhan,” ungkap Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH, Sigit Reliantoro, dalam peringatan Hari Air Sedunia di Jakarta.
Ketimpangan Kuantitas dan Kualitas Air
Sementara pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih memiliki ketersediaan air yang mencukupi, permasalahan lain justru muncul dalam aspek kualitas. Banyak daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia mengalami pencemaran berat akibat limbah rumah tangga dan industri.
Baca juga: Misi Besar Indonesia, 100% Air dan Sanitasi Layak 2030
KLH mencatat dari 2.198 sungai yang dipantau, hanya 2,19% titik pemantauan yang memenuhi baku mutu air. Mayoritas—sekitar 96%—tercemar ringan, sementara beberapa lainnya telah masuk kategori cemar berat. Baca juga: 27 Persen Rumah Tangga Indonesia Terancam Air Terkontaminasi Septic Tank. “Ini tantangan serius yang mempengaruhi akses terhadap air bersih bagi masyarakat,” kata Sigit.
Dampak Berkurangnya Tutupan Lahan
Selain pencemaran, perubahan ekosistem juga memperburuk krisis air. Berkurangnya tutupan lahan di berbagai DAS memperparah tantangan konservasi. Salah satu contoh nyata adalah banjir yang melanda Jabodetabek pada Maret 2025.

Sigit mengungkapkan bahwa di DAS Kali Bekasi, tutupan hutannya hanya tersisa 3,53% dari total luas DAS, jauh dari standar minimal 30%. Akibatnya, daya tampung air tanah menurun drastis, meningkatkan risiko banjir saat hujan dan memperparah kekeringan saat kemarau. “Tanpa tutupan lahan yang cukup, sistem akuifer tidak dapat menyerap air dengan baik,” jelasnya.
Baca juga: Citarum: Sungai Kotor yang Tak Kunjung Bersih, Apa Solusinya?
Teknologi dan Solusi untuk Masa Depan
Mengatasi krisis air tidak hanya membutuhkan konservasi, tetapi juga teknologi pengolahan yang lebih canggih. Namun, implementasi teknologi ini memiliki tantangan tersendiri, terutama dari sisi biaya.
“Pengolahan air untuk memastikan ketersediaan yang aman dan berkelanjutan memerlukan investasi besar. Biaya akan meningkat, tetapi ini harus dilakukan agar krisis air tidak semakin parah,” ujar Sigit.
Baca juga: Bioplastik Baru, Terobosan untuk Laut Lebih Bersih
Pemerintah, akademisi, dan pelaku industri diharapkan dapat bekerja sama dalam mencari solusi berkelanjutan, mulai dari pengelolaan DAS hingga penerapan teknologi daur ulang air. Kesadaran masyarakat untuk menghemat air dan menjaga lingkungan juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini.
Tanpa langkah konkret, ancaman krisis air di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara, akan semakin mengkhawatirkan dalam beberapa dekade ke depan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Eileen Gao/ Pexels.