Mengakhiri Ketimpangan Agraria, Jalan Panjang Menuju Keadilan

KEADILAN sosial dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah menjadi isu krusial yang terus diperjuangkan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan pentingnya pemerataan akses terhadap tanah bagi masyarakat luas. Ia berharap semangat Ramadhan dan Idul Fitri menjadi inspirasi dalam mewujudkan kebijakan yang lebih adil dan inklusif.

Tanah untuk Semua, Bukan Segelintir

Dalam khutbahnya di Masjid Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Jakarta, Nusron menyoroti ketimpangan kepemilikan tanah yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Ia menegaskan bahwa tanah tidak boleh hanya dikuasai oleh segelintir orang, sesuai dengan ajaran Islam yang melarang akumulasi kekayaan pada kelompok tertentu.

“Kita harus memastikan tanah dimanfaatkan secara adil. Kepemilikan tanah harus berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya korporasi besar,” tegasnya.

Baca juga: 194 Perusahaan Sawit Bermasalah, Izin Lahan Dipertanyakan

Untuk itu, pemerintah berkomitmen menata ulang pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) agar lebih merata. Salah satu strategi yang diterapkan adalah mewajibkan pengusaha besar menjalankan pola plasma dengan rakyat. Persentase kepemilikan plasma oleh masyarakat dinaikkan dari 20 persen menjadi 30 hingga 50 persen. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan usaha besar dan kesejahteraan masyarakat kecil.

Perang Melawan Mafia Tanah

Ketimpangan kepemilikan tanah juga diperburuk oleh praktik mafia tanah yang merajalela. Nusron menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberi ruang bagi mafia tanah yang kerap merugikan masyarakat.

“Kami sudah menindak 16 oknum ASN yang terlibat, dua di antaranya dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hingga jatuh miskin,” ungkapnya.

Pemberantasan mafia tanah tak hanya dilakukan melalui penegakan hukum, tetapi juga dengan mendorong masyarakat untuk segera mensertifikatkan tanah mereka. Dengan sertifikat resmi, peluang terjadinya sengketa dan penyerobotan dapat diminimalkan.

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menegaskan pentingnya pemerataan akses terhadap tanah bagi masyarakat luas. Ia menyampaikan bahwa tanah bukanlah milik segelintir orang atau korporasi besar, tetapi harus diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat kecil. Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.

Era Baru, Digitalisasi Sertifikat Tanah

Dalam upaya memberikan kepastian hukum dan keamanan data pertanahan, pemerintah menggenjot program digitalisasi sertifikat tanah. Nusron menargetkan 50 persen dari 124 juta bidang tanah di Indonesia akan terdigitalisasi pada akhir 2025, dengan target 100 persen dalam lima tahun ke depan.

Baca juga: Sengkarut Sertifikat Ganda, Warisan Administrasi yang Jadi Bom Waktu

Digitalisasi ini memiliki banyak manfaat, terutama dalam menghadapi bencana alam seperti gempa atau banjir yang bisa merusak dokumen fisik. Selain itu, sistem elektronik juga dapat mengurangi risiko pemalsuan dan tumpang tindih kepemilikan.

“Tidak ada penyitaan sertifikat fisik. Kami hanya menganjurkan masyarakat untuk segera mengubah sertifikat analog ke digital agar lebih aman dan praktis,” jelas Nusron.

Resistensi Kelompok Tertentu

Berbagai langkah yang diambil pemerintah mencerminkan komitmen dalam mewujudkan sistem pertanahan yang lebih adil dan transparan. Meski demikian, tantangan besar masih menghadang, mulai dari resistensi kelompok tertentu hingga kesiapan infrastruktur digital.

Baca juga: Indonesia Kehilangan 150 Ribu Hektar Sawah Setiap Tahun

Dengan reformasi kebijakan dan dukungan masyarakat, impian keadilan sosial di bidang pertanahan bukan mustahil untuk diwujudkan. Momen Ramadhan dan Idul Fitri menjadi refleksi penting bahwa tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga hak dasar yang harus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *