BANJIR masih menjadi ancaman tahunan bagi warga Bekasi, Jawa Barat, dan sekitarnya. Penyebabnya beragam, mulai dari alih fungsi lahan hingga pembangunan di kawasan sempadan sungai. Kini, pemerintah pusat mengambil langkah konkret untuk menertibkan bangunan liar di sekitar Sungai Bekasi demi mengembalikan fungsi alaminya sebagai jalur air.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti, dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menggelar pertemuan di Jakarta pada Senin (17/3/2025). Mereka membahas strategi untuk menanggulangi banjir di wilayah Jawa Barat, khususnya di sekitar Sungai Bekasi.
Dalam konferensi pers usai rapat, Nusron mengumumkan tiga langkah utama: penertiban bangunan di sempadan sungai, penyediaan ganti rugi bagi pemilik lahan sah, dan revitalisasi kawasan sungai serta situ yang telah beralih fungsi.
“Semua bangunan di badan dan sempadan sungai harus ditertibkan. Jika memiliki alas hak, pemiliknya akan mendapat tanah pengganti dan ganti rugi sesuai appraisal,” ujar Nusron.
Baca juga: Banjir Jabodetabek dan Ancaman Tata Ruang yang Terabaikan
Saat ini, data sementara menunjukkan terdapat 124 bidang tanah dan bangunan di bantaran Sungai Bekasi yang akan ditertibkan. Proses ini akan dilakukan secara bertahap, dengan pendekatan manusiawi bagi warga yang terdampak. Mereka yang tidak memiliki sertifikat kepemilikan juga akan mendapatkan uang kerahiman.
Tanah Negara, Kepemilikan Harus Jelas
Sempadan dan badan sungai merupakan tanah negara yang dikelola oleh Ditjen Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PU, Perum Jasa Tirta, atau pemerintah daerah. Namun, banyak lahan di kawasan ini belum memiliki sertifikat atas nama lembaga terkait.
Nusron menegaskan, ke depan seluruh lahan di sekitar sungai harus memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama otoritas yang berwenang. Dengan begitu, kawasan tersebut tidak bisa lagi diklaim atau disertifikatkan oleh individu atau kelompok tertentu.

Mengembalikan Fungsi Alami Sungai dan Situ
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyoroti pentingnya mengembalikan fungsi alami sungai, situ, dan rawa-rawa sebagai penyangga ekosistem. Ia pun menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang melarang alih fungsi lahan di Jawa Barat, termasuk hutan, perkebunan, dan persawahan.
Baca juga: Banjir Jakarta Bermula di Puncak, Krisis Tata Ruang yang Terabaikan
“Pergub ini akan berdampak langsung pada kebijakan perizinan di Jawa Barat. Kita harus memastikan semua kawasan kritis tetap berfungsi sesuai peruntukannya agar produktivitas meningkat dan risiko bencana berkurang,” kata Dedi.
Infrastruktur Antibanjir: Tanggul dan Kolam Retensi
Selain menertibkan bangunan di bantaran sungai, pemerintah juga fokus pada pembangunan infrastruktur pengendali banjir. Wakil Menteri PU Diana Kusumastuti mengungkapkan, proyek tanggul sepanjang 19,4 kilometer masih terkendala pembebasan lahan.
Baca juga: Banjir Jakarta dan Evaluasi Bendungan Ciawi-Sukamahi, Solusi atau Gagal Fungsi?
Jika data kepemilikan lahan telah disinkronisasi, proses pembebasan ditargetkan selesai Mei 2025. Dengan begitu, pembangunan tanggul dan kolam retensi bisa segera dimulai pada Juni.
“Kita juga akan membangun delapan kolam retensi dan beberapa situ untuk menampung debit air saat curah hujan tinggi,” jelas Diana.
Sinergi dan Kesadaran Publik
Upaya menanggulangi banjir tidak cukup hanya dengan pembangunan fisik. Edukasi dan kesadaran masyarakat juga menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah mengajak semua pihak, termasuk komunitas dan pelaku usaha, untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungan sungai.
Baca juga: Hutan Menyusut, Beton Meluas: Bagaimana Masa Depan Jabodetabek?
Dengan kombinasi penertiban, pemulihan ekosistem, dan pembangunan infrastruktur yang terencana, harapan untuk menekan risiko banjir di Bekasi semakin nyata. Namun, keberhasilan ini tetap bergantung pada sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. ***
- Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels – Aliran sungai kawasan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat.