PURWAKARTA kembali diguncang tragedi lingkungan. Sekitar 100 ton ikan mas ditemukan mati di Waduk Jatiluhur akibat fenomena tahunan yang sama: upwelling. Cuaca ekstrem dituding sebagai penyebab utama, tetapi praktik budidaya yang melebihi daya dukung lingkungan memperparah dampaknya. Bagaimana cara mencegah kejadian serupa di masa depan?
Fenomena Tahunan yang Tak Kunjung Usai
Setiap tahun, Waduk Jatiluhur menghadapi risiko kematian massal ikan akibat upwelling. Fenomena ini terjadi ketika cuaca ekstrem menyebabkan pergerakan air dari dasar waduk ke permukaan, mengurangi kadar oksigen terlarut secara drastis. Ikan-ikan, terutama jenis ikan mas yang bergantung pada kestabilan oksigen, akhirnya mati dalam jumlah besar.
Tahun ini, Kampung Pasir Kole di Desa Kutamanah dan Kampung Citerbang di Desa Panyindangan menjadi titik paling terdampak. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merespons cepat dengan menurunkan tim ke lokasi untuk mengevaluasi penyebab dan langkah penanganan.
“Fenomena tahunan ini seharusnya tidak lagi terjadi. Kami sudah berulang kali mengingatkan pemerintah daerah dan pembudidaya untuk melakukan langkah antisipatif,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Tb Haeru Rahayu.
Baca juga: Kematian Ikan di Danau Maninjau, Dampak Cuaca Ekstrem pada Perikanan
Menurut KKP, peringatan cuaca ekstrem sebenarnya sudah dikeluarkan sebelumnya. Sayangnya, banyak pembudidaya tetap menahan ikan mereka agar mencapai ukuran lebih besar sebelum panen, meskipun risiko kematian massal sudah tampak.
Keramba Jaring Apung, Berkah atau Bencana?
Selain faktor alam, praktik budidaya yang tidak sesuai standar memperburuk situasi. Berdasarkan hasil evaluasi tim KKP, jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Jatiluhur sudah melebihi kapasitas daya dukungnya.
Tingginya kepadatan KJA menyebabkan akumulasi limbah pakan ikan dan kotoran yang menurunkan kualitas air. Saat upwelling terjadi, kondisi ini semakin parah karena oksigen dalam air turun drastis, mempercepat kematian ikan.
“Zonasi budidaya harus dipatuhi. Jika jumlah KJA melebihi daya dukung lingkungan, ekosistem perairan akan semakin tertekan,” tegas Tb Haeru.
Baca juga: Pemanasan Global 2°C Tak Terbendung, Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Untuk sementara, KKP merekomendasikan penghentian sementara budidaya ikan di Waduk Jatiluhur hingga kondisi perairan kembali stabil. Selain itu, ikan yang sudah mati harus segera diangkat dan dikubur untuk mencegah pencemaran lebih lanjut.
Panen Awal, Langkah Pencegahan yang Terabaikan
Pakar perikanan menilai bahwa solusi paling efektif untuk mencegah kerugian besar akibat upwelling adalah dengan menerapkan panen awal atau panen total.
“Sebagian besar pembudidaya sebenarnya sudah memahami bahaya upwelling, tetapi banyak yang tetap menahan ikan lebih lama demi keuntungan lebih besar,” ungkap Direktur Ikan Air Tawar KKP, Ujang Komarudin.

Jika panen dilakukan lebih awal, ikan bisa dijual sebelum kondisi air memburuk, sehingga kerugian besar bisa dihindari. Namun, tanpa kesadaran dan kepatuhan terhadap rekomendasi ini, kejadian serupa akan terus berulang.
Masa Depan Budidaya Ikan di Waduk Jatiluhur
Kematian massal ikan di Waduk Jatiluhur bukan hanya soal cuaca ekstrem, tetapi juga tentang tata kelola perikanan yang kurang berkelanjutan. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menekankan pentingnya praktik budidaya yang lebih ramah lingkungan.
Baca juga: Krisis Iklim, Mengapa Kenaikan 2 Derajat Celsius Bisa Mengubah Dunia?
“Keberlanjutan harus menjadi prioritas dalam setiap aktivitas perikanan. Jika praktik budidaya tidak dikendalikan, dampaknya tidak hanya bagi pembudidaya, tetapi juga bagi ekosistem perairan dan masyarakat luas,” tegasnya.
Tanpa regulasi yang lebih ketat, edukasi berkelanjutan, dan kesadaran para pembudidaya untuk menerapkan praktik yang lebih berkelanjutan, Waduk Jatiluhur akan terus menjadi saksi tragedi ekologis setiap tahunnya.
Apakah kita siap belajar dari kejadian ini, atau justru membiarkan sejarah terus berulang? ***
- Foto: X/ @BudidayaKKP