PERMUKAAN air laut terus naik, mengancam jutaan penduduk dunia. Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Air, Retno Marsudi, menegaskan bahwa pencairan gletser menjadi faktor utama di balik kenaikan ini. Berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lebih dari 900 gigaton air tawar telah hilang akibat melelehnya gletser dalam 50 tahun terakhir. Dampaknya? Ketinggian air laut telah meningkat 20 cm dibandingkan dengan tahun 1900.
Dampak Global dan Risiko Besar
Krisis air tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada kehidupan manusia secara langsung. PBB mencatat bahwa pada 2023, sebanyak 32 juta orang terdampak krisis air hanya dalam satu tahun. Kekeringan pun menjadi ancaman besar, dengan 29,4 juta orang merasakan dampaknya di tahun yang sama. Bahkan, diperkirakan 700 juta orang harus mengungsi akibat masalah air pada 2050.
Baca juga: Alarm Kenaikan Air Laut, Kota-kota Pesisir di Ambang Bencana?
Kondisi ini diperparah oleh ketidakstabilan iklim yang memicu bencana ekstrem seperti banjir dan kekeringan berkepanjangan. “Pada tahun 2050, tiga per empat penduduk dunia akan terdampak oleh kekeringan,” ungkap Retno dalam sebuah forum di Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2025).
Krisis Air di Indonesia
Indonesia bukan pengecualian. Saat ini, sekitar 3 juta orang hidup dengan risiko mengonsumsi air yang tercemar. Keterbatasan akses air bersih menjadi tantangan serius di berbagai wilayah, terutama di daerah pesisir yang paling rentan terhadap kenaikan air laut. Jika tidak ditangani dengan cepat, krisis air dapat mengancam ketahanan pangan, kesehatan, dan keberlanjutan ekosistem Indonesia.
Baca juga: Studi Baru: Arktik Diprediksi Bebas Es Laut di Musim Panas 2027
“Kita menghadapi ancaman nyata yang membutuhkan aksi segera dari semua pihak,” ujar Retno. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menangani krisis ini.

Misi PBB: Advokasi, Penyelarasan, dan Akselerasi
Untuk mengatasi tantangan ini, PBB menunjuk Utusan Khusus untuk Isu Air dengan tiga mandat utama: advokasi, penyelarasan, dan akselerasi. Retno menjelaskan bahwa advokasi bertujuan untuk mendorong para pemimpin dunia agar menjadikan air sebagai prioritas dalam agenda politik mereka. “Yang tidak kalah penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya isu air,” katanya.
Baca juga: Krisis Air di Indonesia, Jawa dan Bali-Nusa Tenggara Masuki Fase Kritis
Penyelarasan mengacu pada perlunya kolaborasi antarnegara, lembaga, dan sektor swasta dalam menghadapi tantangan ini. Sementara akselerasi berfokus pada mempercepat implementasi kebijakan dan komitmen terkait penanganan krisis air.
“Kolaborasi dan inklusivitas adalah kunci. Semua pihak harus terlibat, karena hanya dengan kerja sama kita bisa mengatasi tantangan global ini,” tambahnya.
Solusi dan Langkah Konkret
Menghadapi ancaman ini, Indonesia perlu mengambil langkah proaktif. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain:
- Investasi dalam infrastruktur air bersih untuk memastikan akses yang lebih luas bagi masyarakat.
- Penguatan regulasi dan kebijakan konservasi air untuk mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi penggunaan air.
- Pengembangan teknologi desalinasi sebagai solusi bagi daerah pesisir yang terdampak intrusi air laut.
- Edukasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga sumber daya air.
Baca juga: Krisis Air Global, Ancaman Nyata yang Harus Ditangani Segera
PBB menyatakan kesiapan untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan solusi-solusi ini. “Kami siap mendukung upaya pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam menangani krisis air di Indonesia,” tegas Retno.
Krisis air bukan lagi ancaman masa depan—ia sudah terjadi hari ini. Saatnya bertindak sebelum terlambat. ***
- Foto: Ilustrasi/ ArcticDesire/ Pexels.