Banjir Jakarta dan Evaluasi Bendungan Ciawi-Sukamahi, Solusi atau Gagal Fungsi?

JAKARTA kembali dilanda banjir besar di awal Maret 2025. Pemerintah, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kini tengah mengevaluasi efektivitas dua bendungan kering di Bogor—Ciawi dan Sukamahi—dalam meredam banjir di ibu kota. Evaluasi ini menimbulkan pertanyaan: apakah infrastruktur yang dibangun memang cukup untuk mengatasi kompleksitas banjir Jakarta?

Bendungan Kering dan Peranannya

Diresmikan pada 2022, Bendungan Ciawi dan Sukamahi dirancang sebagai bendungan kering (dry dam) yang bertujuan mereduksi debit air Sungai Ciliwung sebelum mengalir ke Jakarta. Konsep ini berbeda dari bendungan konvensional karena tidak menyimpan air secara permanen, melainkan hanya menampungnya saat curah hujan tinggi sebelum dilepaskan perlahan.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun dua bendungan ini telah beroperasi, banjir tetap melanda Jakarta. Presiden ke-7, Joko Widodo menegaskan bahwa Jakarta tidak hanya dilintasi oleh Sungai Ciliwung, tetapi juga 12 sungai lainnya, seperti Pesanggrahan dan Cipinang. Hal ini berarti solusi banjir tidak bisa hanya bergantung pada satu atau dua bendungan saja.

Baca juga: Banjir Jakarta Bermula di Puncak, Krisis Tata Ruang yang Terabaikan

Evaluasi BNPB dan Tantangan di Lapangan

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyatakan bahwa efektivitas dua bendungan tersebut belum dikaji secara menyeluruh. Evaluasi akan dilakukan setelah fase tanggap darurat berakhir. Kajian ini sangat penting mengingat besarnya investasi yang telah digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur ini.

Tonton video produksi Biro Pers Sekretariat Presiden yang dicuplik akun Instagram @defnaputra saat peresmian Bendungan Ciawi dan Sukamahi untuk melihat peran strategisnya dalam pengendalian banjir Jakarta.

Di sisi lain, Jokowi menyoroti faktor lain yang turut memperparah banjir Jakarta. Salah satunya adalah fenomena kenaikan air laut yang diperkirakan mencapai 8-12 cm per tahun. Studi NASA bahkan memprediksi bahwa pada 2050, sepertiga wilayah Jakarta dapat terendam banjir akibat naiknya permukaan air laut. Dengan kondisi geografis Jakarta yang berada di dataran rendah, ancaman ini semakin nyata.

Baca juga: Puncak Bogor Terancam Alih Fungsi Lahan dan Banjir

Normalisasi Sungai dan Giant Sea Wall sebagai Solusi?

Dalam upaya menangani masalah ini, pemerintah telah menjalankan beberapa proyek lain, seperti sodetan Ciliwung dan normalisasi sungai. Namun, masih ada 12 sungai lain yang perlu direvitalisasi untuk memastikan air dari hulu dapat mengalir dengan lancar ke laut tanpa menyebabkan banjir di Jakarta.

Salah satu solusi jangka panjang yang dianggap mendesak adalah pembangunan Giant Sea Wall. Proyek ini telah masuk dalam rencana pemerintah Presiden Prabowo dan disebut sebagai langkah krusial untuk melindungi Jakarta dari ancaman banjir rob. Jika tidak segera direalisasikan, Jakarta berpotensi mengalami bencana ekologis yang lebih parah di masa mendatang.

Mencari Solusi Komprehensif

Banjir Jakarta bukan hanya soal curah hujan tinggi atau kapasitas bendungan, tetapi juga mencakup tata ruang kota, pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai), serta dampak perubahan iklim global. Evaluasi terhadap Bendungan Ciawi dan Sukamahi harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk mempertimbangkan integrasi dengan infrastruktur lain serta kebijakan jangka panjang yang lebih berkelanjutan.

Baca juga: Krisis Hulu Ciliwung, Penyegelan Bukan Solusi Akhir

Para praktisi dan pemerhati lingkungan perlu ikut serta dalam diskusi ini untuk mencari solusi yang lebih holistik. Keberlanjutan Jakarta sebagai kota layak huni bergantung pada keputusan-keputusan strategis yang diambil saat ini. ***

  • Foto: Instagram/ @bogorshare – Bendungan Ciawi.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *