LAUTAN dunia terus berperang melawan pencemaran plastik yang tak kunjung usai. Setiap tahun, lebih dari 10 juta ton plastik memasuki ekosistem laut, menyebabkan ancaman serius bagi kehidupan laut dan habitatnya. Namun, sebuah terobosan baru dari Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) menghadirkan secercah harapan. Penelitian mereka menemukan bahwa selulosa diasetat (CDA) adalah jenis plastik yang mampu terurai secara signifikan lebih cepat di lingkungan laut.
Menurut laporan dari New Atlas, CDA terbuat dari selulosa, polimer alami yang ditemukan di dinding sel tumbuhan, seperti kapas atau bubur kayu. Dalam kehidupan sehari-hari, CDA sudah digunakan dalam berbagai produk seperti bingkai kacamata, filter rokok, hingga film fotografi. Namun, penelitian terbaru mengungkap potensi luar biasa dari bioplastik ini sebagai solusi pengganti plastik konvensional yang mencemari lautan.
Proses Pembusaan, Kunci Bioplastik yang Ramah Laut
Tim peneliti WHOI, yang dipimpin oleh Collin Ward, berhasil memodifikasi CDA melalui proses sederhana bernama pembusaan. Teknik ini memungkinkan CDA terurai 15 kali lebih cepat daripada plastik konvensional, bahkan lebih cepat dari kertas.
Dalam uji coba selama 36 minggu, busa CDA yang direndam dalam tangki air laut kehilangan hingga 70% massanya, dibandingkan dengan nol degradasi pada plastik biasa seperti styrofoam.”Kami mendesain material baru yang tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga terurai di lautan lebih cepat daripada plastik lainnya,” jelas Ward.
Baca juga: INC-5, Akankah Dunia Menang Melawan Polusi Plastik?
Hasil penelitian ini telah diterbitkan dalam jurnal ACS Publications dan menjadi langkah awal penting untuk menciptakan bahan yang lebih berkelanjutan.
Ancaman Sampah Plastik, Fakta yang tidak Bisa Diabaikan
Mengutip laman resmi Universitas RMIT, Australia, lautan dunia menerima lebih dari 10 juta ton sampah plastik setiap tahun, dengan prediksi angka ini meningkat menjadi 60 juta ton pada 2030. Bahkan di pantai, plastik tetap menjadi ancaman besar bagi satwa liar.
Baca juga: 175 Negara Bersatu untuk Perjanjian Plastik Global
Peneliti dari Universitas RMIT, Dr. Jenna Guffogg menjelaskan, plastik dapat disalahartikan sebagai makanan, hewan besar bisa terjerat, dan hewan kecil seperti kepiting dapat terperang kap dalam wadah plastik. “Jika tidak dibersihkan, plastik ini akan terfragmentasi menjadi mikro dan nano plastik,” jelasnya.

Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa pada 2060, penggunaan plastik global bisa meningkat tiga kali lipat, dengan sebagian besar pertumbuhan terjadi di Afrika sub-Sahara dan Asia. Sebagian besar sampah plastik ini akan berakhir di tempat pembuangan sampah, dan hanya 20% yang didaur ulang.
Mengintegrasikan Teknologi dan Kebijakan
Terobosan bioplastik seperti CDA membuka peluang besar untuk mengurangi dampak buruk plastik di laut. Namun, keberhasilan inovasi ini memerlukan kolaborasi antara teknologi, kebijakan, dan kesadaran publik. Regulasi yang mendukung penggunaan bioplastik, seperti yang sudah diterapkan beberapa negara pada kantong plastik sekali pakai, perlu diperluas ke sektor lain.
Selain itu, edukasi publik tentang bahaya plastik konvensional dan manfaat bioplastik juga menjadi langkah penting. Dengan dukungan global, solusi seperti CDA bisa menjadi salah satu kunci untuk mengatasi krisis plastik dunia.
Baca juga: Misi Besar Indonesia, 100% Air dan Sanitasi Layak 2030
Dengan adanya inovasi seperti CDA, harapan untuk lautan yang lebih bersih semakin nyata. Namun, pekerjaan besar masih menanti. Perubahan harus dilakukan di semua level, mulai dari individu hingga pemerintah, untuk memastikan bahwa inovasi ini benar-benar membawa dampak yang signifikan.
Bioplastik hanyalah salah satu bagian dari solusi. Kolaborasi lintas disiplin, investasi dalam teknologi berkelanjutan, dan komitmen global untuk mengurangi plastik adalah langkah kunci menuju masa depan yang lebih hijau dan lebih bersih. ***
Foto: Lucien Wanda/ Pexels – Polusi plastik semakin mengancam lingkungan. Lebih dari 8 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun.