COP16 Riyadh, Krisis Kekeringan dan Jalan Buntu Negosiasi Global

KEGAGALAN Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Konvensi PBB Melawan Penggurunan (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, menjadi sorotan global. Selama dua minggu perundingan yang molor hingga Sabtu (14/12/2024), para negosiator dari 196 negara dan Uni Eropa gagal mencapai kesepakatan mengenai protokol kekeringan. Ketidaksepakatan ini mencerminkan tantangan besar dalam upaya global melawan dampak kekeringan yang semakin mendesak.

Protokol Kekeringan, Harapan yang Kandas

Ketika perundingan dimulai pada 2 Desember, ada harapan besar agar dunia menyepakati protokol kekeringan. Sekretaris Eksekutif UNCCD, Ibrahim Thiaw, menyatakan bahwa keputusan berani diperlukan untuk mengatasi krisis ini. Namun, pidato di sesi pleno terakhir justru menggarisbawahi kegagalan mencapai konsensus.

Baca juga: COP16 Riyadh Janji Rp191 T untuk Atasi Degradasi Lahan

Afrika, yang terdampak parah oleh kekeringan, hadir dengan front persatuan yang kuat mendukung protokol ini. Seorang delegasi Afrika mengatakan bahwa ini adalah momen langka di mana “Benua Hitam” bersatu. Namun, negara-negara maju enggan menyetujui protokol yang bersifat mengikat, memperumit negosiasi.

Kelompok adat dan organisasi seperti Save Soil juga menyuarakan pentingnya protokol ini. Mereka menilai dokumen tersebut dapat menciptakan mekanisme pemantauan, sistem peringatan dini, dan rencana respons yang lebih efektif. Namun, tanpa protokol, tantangan besar tetap ada di depan.

Tantangan Geopolitik dalam Negosiasi Global

COP16 Riyadh bukanlah kegagalan tunggal dalam pertemuan iklim global. Tahun ini juga menyaksikan kebuntuan pada COP16 Konvensi PBB Keanekaragaman Hayati di Kolombia dan kegagalan mencapai kesepakatan polusi plastik di Korea Selatan. Direktur Eksekutif International Institute for Environment and Development, Tom Mitchell, mencatat bahwa lanskap geopolitik yang semakin terfragmentasi menjadi penghalang besar dalam proses COP.

Baca juga: Agenda Aksi Riyadh, Jawaban Degradasi Lahan Global?

Mitchell menekankan bahwa konflik geopolitik menyebabkan beberapa suara penting dikesampingkan dalam perundingan. Padahal, urgensi untuk mengatasi krisis seperti kekeringan, degradasi tanah, dan perubahan iklim semakin meningkat.

COP16 Riyadh: Tantangan geopolitik dalam negosiasi global yang gagal atasi krisis kekeringan. Foto: X/ @Spa_Eng.

Dampak Kekeringan, Ancaman Global yang Mengintai

Laporan PBB menunjukkan bahwa kekeringan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan akibat ulah manusia telah menyebabkan kerugian ekonomi global lebih dari 300 miliar dolar AS. Jika tidak ditangani, kekeringan diproyeksikan akan mempengaruhi 75 persen populasi dunia pada tahun 2050.

Baca juga: Masyarakat Adat, Penjaga Bumi yang Terabaikan dalam Krisis Global

Negara-negara kawasan Arab, melalui Arab Coordination Group, menjanjikan pendanaan sebesar 10 miliar dolar AS dari total 12 miliar dolar AS yang dijanjikan dalam COP16 untuk penanggulangan kekeringan dan pemulihan lahan. Namun, angka ini jauh dari kebutuhan investasi global sebesar 2,6 triliun dolar AS hingga akhir dekade untuk memulihkan 1,5 miliar hektar lahan yang terdegradasi.

Menuju COP17 di Mongolia

Meskipun COP16 Riyadh berakhir tanpa hasil, diskusi mengenai protokol kekeringan akan berlanjut di COP17 yang dijadwalkan berlangsung di Mongolia pada 2026. Perjalanan panjang menuju konsensus menunjukkan bahwa krisis global ini memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif.

Sementara itu, komunitas global tidak dapat berdiam diri. Upaya penanggulangan kekeringan harus tetap dilanjutkan dengan langkah konkret, termasuk pemulihan lahan, penguatan kapasitas lokal, dan kolaborasi lintas sektor.

COP16, 12 hari yang luar biasa namun berujung buntu.

Pelajaran dari COP16

Kegagalan Riyadh menggarisbawahi betapa kompleksnya negosiasi global di tengah dunia yang semakin terpecah. Namun, ini juga menjadi pengingat bahwa tantangan keberlanjutan tidak bisa diselesaikan dalam satu konferensi. Diperlukan upaya bersama yang berkesinambungan untuk menciptakan solusi nyata bagi ancaman kekeringan global.

Dunia kini berharap pada COP17 di Mongolia untuk melanjutkan pembahasan ini. Namun, kerja keras di lapangan tidak boleh menunggu hingga tiga tahun lagi. Kekeringan adalah ancaman nyata yang memerlukan aksi segera dari semua pihak. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *