SIDANG kelima Komite Negosiasi Antar-Pemerintah (INC-5) untuk mengakhiri polusi plastik dimulai pada 25 November 2024 di Busan, Korea Selatan. Pertemuan ini menjadi upaya global untuk menyusun Global Plastic Treaty, dengan agenda besar seperti desain produk, bahan kimia berbahaya, dan produksi plastik. Namun, di tengah diskusi yang memanas, tercipta celah tajam antara negara-negara peserta.
Salah satu isu utama adalah kriteria global untuk produk plastik dan bahan kimia berbahaya. Meskipun desain produk didukung banyak negara, diskusi tentang bahan kimia dan produksi plastik menemui hambatan besar. Negara-negara penghasil minyak dan gas, sebagai penyedia bahan baku utama plastik, menolak membahas produksi sebagai bagian dari solusi global.
Pendanaan yang Diperdebatkan
Pendanaan menjadi sorotan di kelompok diskusi (CG) 3. Lebih dari 100 negara mendukung usulan kelompok Afrika dan GRULAC untuk membentuk mekanisme keuangan independen demi mendukung negara berkembang memenuhi kewajiban mereka dalam perjanjian.
Sebaliknya, negara maju lebih memilih menggunakan dana yang sudah ada, seperti Global Environment Fund, dengan syarat kesepakatan teks tercapai.
Perbedaan pandangan ini memperlambat proses negosiasi, memunculkan kekhawatiran bahwa mandat baru mungkin diperlukan jika kesepakatan gagal tercapai pada akhir pekan.
Suara yang tak Didengar
Diskusi dalam CG 4 menjadi yang paling lambat. Kelompok ini membahas isu seperti penyelesaian sengketa, amandemen konvensi, dan adopsi lampiran. Ketegangan semakin meningkat ketika perwakilan masyarakat adat dan pemuda memprotes di sesi pleno untuk didengar.
Seorang aktivis muda Indonesia, Aeshnina Azzahra Aquilani, menyerukan penghentian ekspor limbah dari negara maju. “Indonesia telah menjadi tempat pembuangan sampah negara-negara maju,” tegasnya, sambil mendesak perubahan gaya hidup dan kebijakan negara-negara Global North.
INC-5 mencatat jumlah terbesar pelobi dari industri bahan bakar fosil dan kimia, dengan 220 orang terdaftar. Jumlah ini bahkan melampaui delegasi tuan rumah Korea Selatan (140 orang). Pelobi ini aktif dalam memengaruhi jalannya diskusi, yang oleh beberapa pihak dinilai memperlambat upaya mencapai kesepakatan.

Subsidi Plastik yang Masif
Laporan terbaru Quaker United Nations Office dan Eunomia mengungkapkan subsidi untuk produksi polimer plastik mencapai USD 43 miliar pada 2024, dengan proyeksi meningkat menjadi USD 78 miliar pada 2050. Saudi Arabia menjadi kontributor terbesar, dengan subsidi USD 38 miliar pada 2024. Penghapusan subsidi ini diperkirakan hanya akan meningkatkan harga barang konsumsi cepat saji kurang dari satu persen.
Solusi dari Asia
Di tengah negosiasi, solusi berbasis komunitas dari Asia mendapat sorotan. Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) memaparkan inisiatif seperti “Kuha sa Tingi” di Filipina, yang memungkinkan konsumen membawa wadah ulang pakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dan Crockery and Cutlery Banks di India yang menggantikan alat makan sekali pakai di acara-acara.
Baca juga: Perusahaan Top Dunia Berlomba Tetapkan Target Karbon
Pendekatan berbasis ulang pakai ini dinilai sebagai solusi nyata untuk mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai dan menginspirasi negara-negara lain untuk mengadopsi model serupa.
Meski tantangan terus bermunculan, berbagai kelompok, termasuk Break Free From Plastic, mendesak negara-negara untuk membuat perjanjian yang kuat dan tidak mengabaikan janji melindungi komunitas garis depan yang paling terdampak krisis plastik.
Waktu terus berjalan, dan hasil akhir INC-5 di Busan akan menjadi indikator sejauh mana dunia siap bersatu untuk memerangi polusi plastik secara global. ***