KOMISI Eropa baru saja mengumumkan pendanaan senilai 439 juta dolar AS untuk mendukung transisi transportasi berkelanjutan. Dana ini akan digunakan untuk membangun infrastruktur bahan bakar alternatif di 39 proyek utama, mulai dari stasiun pengisian ulang kendaraan listrik hingga elektrifikasi pelabuhan dan bandara.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi ambisius Uni Eropa untuk mencapai transportasi bebas emisi. Namun, bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Bisakah kebijakan ini menjadi inspirasi bagi pengembangan transportasi hijau di Tanah Air?
Fokus pada Infrastruktur Pendukung
Salah satu tantangan utama dalam transisi ke kendaraan bebas emisi adalah kurangnya infrastruktur pengisian ulang. Untuk itu, pendanaan Uni Eropa akan difokuskan pada:
Pemasangan stasiun pengisian ulang listrik untuk kendaraan berat dan ringan
Pembangunan 35 stasiun hidrogen untuk mobil, truk, dan bus
Elektrifikasi layanan di 8 bandara utama
Penghijauan 9 pelabuhan melalui instalasi listrik dan fasilitas energi bersih
Pengembangan infrastruktur pengisian amonia dan metanol untuk kapal dan kendaraan industri
Komisi Eropa memperkirakan proyek ini akan mendukung sekitar 2.500 kendaraan listrik ringan dan 2.400 titik pengisian ulang untuk kendaraan berat di sepanjang jaringan transportasi trans-Eropa (TEN-T).
Komisaris Transportasi dan Pariwisata Berkelanjutan Uni Eropa, Apostolos Tzitzikostas, menyebut bahwa investasi ini akan mempercepat adopsi kendaraan listrik dan membantu menciptakan lingkungan yang lebih bersih.
“Proyek ini akan menambahkan hampir 5.000 titik pengisian daya baru, termasuk pengisi daya 626 megawatt, yang akan membantu warga beralih ke kendaraan tanpa emisi,” ujar Tzitzikostas.
Uni Eropa mengucurkan dana 439 juta dolar AS untuk membangun infrastruktur transportasi hijau, termasuk stasiun pengisian listrik dan hidrogen. Langkah ini diharapkan mempercepat transisi menuju kendaraan tanpa emisi. Foto: Ilustrasi/ Philippe Weickmann/ Pexels.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Langkah Uni Eropa ini bisa menjadi cerminan bagi Indonesia, yang masih menghadapi tantangan besar dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan:
Infrastruktur pengisian yang minim Saat ini, Indonesia baru memiliki sekitar 1.300 SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum), jauh dibandingkan target 25.000 unit pada 2030.
Harga kendaraan listrik yang masih mahal Insentif dari pemerintah sudah diberikan, tetapi adopsinya masih terbatas karena harga mobil listrik belum kompetitif dibanding kendaraan berbahan bakar fosil.
Ketergantungan pada energi batu bara Meskipun kendaraan listrik lebih ramah lingkungan, sebagian besar listrik di Indonesia masih berasal dari PLTU batu bara, yang mengurangi dampak positif dari transisi ini.
Kurangnya investasi di hidrogen dan bahan bakar alternatif Berbeda dengan Eropa, Indonesia belum memiliki roadmap yang jelas untuk mengembangkan hidrogen hijau, amonia, dan metanol sebagai sumber energi transportasi masa depan.
Untuk mempercepat transisi ke transportasi hijau, Indonesia bisa mengadopsi beberapa strategi dari Uni Eropa:
Meningkatkan investasi dalam infrastruktur pengisian daya melalui skema pendanaan publik dan swasta
Mendorong elektrifikasi transportasi umum seperti bus dan truk logistik
Mengembangkan insentif bagi industri dan konsumen agar lebih banyak kendaraan listrik yang masuk ke pasar
Menjalin kerja sama internasional untuk transfer teknologi hidrogen dan bahan bakar alternatif
Langkah Uni Eropa menunjukkan bahwa keberhasilan transisi energi tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada infrastruktur yang memadai dan keberlanjutan ekosistem energi.
Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah dan pasar kendaraan listrik yang berkembang, memiliki peluang besar untuk membangun sistem transportasi yang lebih hijau. Namun, tanpa kebijakan yang lebih agresif dan dukungan infrastruktur yang memadai, transisi ini bisa berjalan lambat.
Saat dunia semakin bergerak menuju transportasi rendah emisi, apakah Indonesia siap untuk mengikuti jejak Uni Eropa? ***