TRANSISI menuju energi bersih yang selama ini dianggap solusi masa depan justru menyisakan paradoks baru berupa gugatan hak asasi manusia (HAM) yang melonjak tajam. Laporan terbaru dari Business and Human Rights Resource Center (BHRRC) mengungkap tren mengkhawatirkan. Sejak 2009, sebanyak 95 gugatan hukum diajukan terhadap proyek-proyek energi terbarukan di seluruh dunia karena dianggap melanggar HAM.
Angka ini melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir. Sekitar 77 persen gugatan muncul sejak 2018, periode yang bertepatan dengan maraknya pembangunan proyek transisi energi di berbagai belahan dunia. Meski niat utamanya mulia, pelaksanaannya memicu perlawanan dari pemilik hak. Mulai dari masyarakat adat, komunitas lokal, hingga pekerja yang merasa terpinggirkan atau dirugikan.
Tambang Hijau, Gugatan Membara
Sebanyak 71 persen gugatan tersebut ditujukan pada perusahaan tambang yang mengeksplorasi apa yang disebut sebagai “mineral transisi”. Mineral dimaksud meliputi litium, kobalt, nikel, dan enam mineral lainnya yang menjadi tulang punggung teknologi hijau seperti baterai kendaraan listrik. Gugatan sisanya melibatkan proyek energi terbarukan seperti pembangkit angin (14%), tenaga air (12%), dan surya (4%).
Baca juga: Transisi Energi Indonesia Terkendala Global, tapi Tetap Bergerak
Wilayah Amerika Latin dan Karibia tercatat sebagai episentrum gugatan, dengan 53 persen kasus berasal dari sana. Di kawasan ini, 76 persen gugatan berkaitan langsung dengan aktivitas tambang mineral transisi yang dituding merusak lingkungan hidup dan ruang hidup masyarakat adat.
Polusi, Tanah Suci, dan Kehilangan Akses Hidup
Masalah paling sering dikeluhkan adalah pelanggaran lingkungan, khususnya pencemaran air (56%), kerusakan wilayah sakral atau dilindungi (40%), dan pelanggaran hak atas tanah (27%). Sebagian besar kasus juga terkait dengan hilangnya akses terhadap mata pencaharian dan sumber daya alam.
Baca juga: Transisi Energi: Komitmen Menggebu, Aksi Masih Abu-abu
BHRRC menegaskan bahwa gugatan ini bukan penolakan atas transisi energi itu sendiri. Sebaliknya, ini adalah bentuk koreksi terhadap pendekatan yang mengabaikan keadilan sosial dan lingkungan. “Hak asasi manusia bukan hambatan bagi kemajuan, tapi syarat mutlaknya,” tegas Elodie Abe, peneliti senior di BHRRC.

Risiko Hukum dan Jalan Terjal Energi Bersih
Konsultasi yang minim dan pengabaian terhadap hak atas “persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan”, terutama dari masyarakat adat, menjadi titik kritis. Dalam 53 persen kasus, masyarakat merasa tidak diajak bicara secara layak sejak awal proyek.
Baca juga: Batu Bara Masih Jadi Andalan, ke Mana Arah Transisi Energi Indonesia?
Situasi ini memunculkan risiko ganda bagi perusahaan dan investor. Proyek tanpa partisipasi bermakna menghadirkan risiko hukum serius bagi dunia. Hal ini bisa memperlambat laju transisi energi yang sangat mendesak.
Tantangan ini semakin relevan karena gugatan hukum terkait iklim juga meningkat drastis. Laporan dari Oil Change International dan Zero Carbon Analytics tahun lalu mencatat lonjakan hampir tiga kali lipat gugatan terhadap perusahaan bahan bakar fosil sejak Perjanjian Paris 2015. Tren ini diprediksi akan terus menguat.
Transisi energi tak cukup hanya soal teknologi dan investasi. Tapi juga harus ditopang oleh keadilan. Tanpa itu, dunia bisa berakhir dengan energi bersih, tapi jejak sosial yang kotor. ***
- Foto: Ilustrasi/ Satvinder Ghotra/ Pexels – Deretan turbin angin di tengah lanskap terbuka. Meski jadi simbol energi bersih, proyek seperti ini kerap menuai gugatan dari komunitas lokal terkait pelanggaran hak asasi manusia.