JAKARTA dan sekitarnya kembali dilanda banjir parah pada awal Maret 2025. Dari Bogor hingga Bekasi, genangan air merendam permukiman, jalan raya, dan fasilitas publik. Namun, di balik musibah ini, ada persoalan lebih besar yang luput dari perhatian: penyusutan hutan di kawasan hulu sungai.
Hutan di tiga daerah aliran sungai (DAS)—Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane—kini hanya tersisa sebagian kecil. Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa luas hutan di DAS Ciliwung tinggal 14 persen, Kali Bekasi 4 persen, dan Cisadane 21 persen. Padahal, Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 mengamanatkan bahwa minimal 30 persen dari luas DAS harus berupa kawasan hutan sebagai penyangga ekosistem.
Alih fungsi hutan menjadi kawasan wisata dan pemukiman menjadi penyebab utama. Kawasan Puncak, yang seharusnya menjadi daerah resapan air, kini dipenuhi bangunan beton. Proyek wisata dan properti berkembang pesat, mengorbankan hutan yang berfungsi sebagai penahan air.
Kebijakan yang Justru Mendorong Kerusakan
Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, menilai bahwa kebijakan pengelolaan hutan justru lebih banyak berpihak pada eksploitasi daripada perlindungan. Pemerintah telah menetapkan 23 ribu hektare hutan di ketiga DAS sebagai kawasan hutan produksi. Artinya, kawasan ini lebih difokuskan pada pemanfaatan kayu daripada fungsi ekologi seperti penyerapan air dan konservasi.
Baca juga: Krisis Hulu DAS Bekasi: Hutan Menyusut, Risiko Bencana Meningkat
Selain itu, perubahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor juga mempercepat alih fungsi hutan. Dalam Peraturan Daerah RTRW terbaru, luas kawasan lindung berkurang drastis dibandingkan regulasi sebelumnya.
Perkebunan teh dan hutan produksi di Puncak yang dulu berstatus kawasan lindung kini masuk dalam kategori budi daya. Akibatnya, pembangunan semakin masif dan tidak terkendali.
Salah satu contoh nyata adalah konversi besar-besaran kebun teh menjadi kawasan wisata. Proyek Hibisc Fantasy Puncak, yang dikelola oleh PT Jaswita Jabar, menunjukkan bagaimana daerah resapan air berubah menjadi kompleks wisata. Baca juga: Puncak Bogor Terancam Alih Fungsi Lahan dan Banjir. Dampaknya, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah kini langsung mengalir ke sungai, meningkatkan risiko banjir di wilayah hilir.

Dampak Nyata, Banjir dan Krisis Ekologi
Hujan deras yang mengguyur wilayah Jabodetabek baru-baru ini menyebabkan Sungai Ciliwung meluap. Air merendam pemukiman dan jalan-jalan utama, menghambat aktivitas masyarakat. Kota Bekasi dan Jakarta turut terkena dampaknya. Infrastruktur publik rusak, ribuan warga terdampak, dan aktivitas ekonomi lumpuh.
Baca juga: Banjir Jabodetabek dan Ancaman Tata Ruang yang Terabaikan
Krisis ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat. Hutan bukan sekadar lahan kosong yang bisa dialihfungsikan sesuka hati. Hutan adalah benteng terakhir yang melindungi kota dari bencana ekologis. Jika pengelolaan hutan tidak segera diperbaiki, banjir akan menjadi ancaman yang semakin sulit dikendalikan.
Jangan Biarkan Bencana Berulang
Restorasi hutan di kawasan hulu menjadi solusi utama. Pemerintah harus mengevaluasi kembali kebijakan tata ruang dan memastikan bahwa kawasan lindung tetap berfungsi sebagai penyangga ekosistem. Selain itu, masyarakat juga perlu lebih sadar akan pentingnya hutan dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
Baca juga: Banjir Jakarta Bermula di Puncak, Krisis Tata Ruang yang Terabaikan
Banjir Jabodetabek bukan hanya soal curah hujan tinggi. Ini adalah dampak dari eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali. Jika tidak segera diatasi, bencana ini akan terus berulang dan semakin parah di masa depan. ***
- Foto: Instagram/ @baaperrun – Kota Bekasi 4 Maret 2025.