PADA tahun 2029, produsen di Indonesia akan menghadapi tantangan besar dalam mengurangi sampah yang mereka hasilkan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan kewajiban untuk mengurangi 30% sampah, yang dipandang sebagai langkah penting dalam mencapai keberlanjutan lingkungan. Melalui kebijakan ini, produsen di sektor-sektor tertentu akan berperan lebih besar dalam mengurangi dampak negatif sampah terhadap lingkungan. Bagaimana kebijakan ini akan diimplementasikan, dan apa tantangannya?
Peta Jalan Pengurangan Sampah
Salah satu terobosan penting dalam pengelolaan sampah di Indonesia adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Kebijakan ini mengharuskan produsen untuk membuat peta jalan yang jelas dan terukur mengenai pengurangan sampah yang mereka hasilkan, yang ditargetkan mencapai 30% pada 2029.
Menurut Kasubdit Tata Laksana Produsen di Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PLSB3) KLHK, Ujang Solihin Sidik, kewajiban ini tidak hanya sebatas memenuhi regulasi, tetapi juga untuk mendorong peran produsen dalam pengelolaan sampah secara lebih berkelanjutan.
Baca juga: Mengurai Masalah Sampah di Indonesia, dari Hulu hingga Hilir
“Produsen adalah bagian penting dari urusan sampah. Sebab, produk kemasan yang kita gunakan sehari-hari berasal dari produsen. Oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab untuk mengurangi dampak sampah yang dihasilkan,” ujar Ujang dalam acara diseminasi studi pendahuluan peta jalan guna ulang, pada Selasa (14/1) yang dipantau secara daring.
Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Mengurangi sampah bukan hanya masalah daur ulang, tetapi juga mencakup langkah-langkah preventif yang dilakukan sejak produk diproduksi. Produsen di sektor industri makanan dan minuman, barang konsumsi, kosmetik, dan sektor jasa makanan dan minuman diharapkan dapat meminimalkan timbulan sampah sejak awal. Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai, seperti menjual produk tanpa kemasan atau memanfaatkan sistem isi ulang (refill).
Baca juga: 60% TPA di Indonesia Hanya Menumpuk Sampah
Penerapan prinsip 3R—reduce (mengurangi sampah), reuse (memanfaatkan kembali), dan recycle (mendaur ulang)—menjadi kunci untuk mengurangi sampah yang dihasilkan oleh produsen. “Dengan mengadopsi 3R, produsen tidak hanya mematuhi peraturan, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan,” jelas Ujang.

Pentingnya Kolaborasi antara Sektor Publik dan Swasta
Mencapai target pengurangan sampah 30% pada 2029 bukanlah tugas yang mudah. Oleh karena itu, kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta sangat penting. Pemerintah melalui KLHK terus memberikan pendampingan, namun produsen juga harus berinisiatif untuk mengubah pola produksi dan distribusi mereka.
Baca juga: Insentif Plastik, Antara Keuntungan Industri dan Kerugian Lingkungan
Selain itu, produsen diharapkan dapat menarik kembali produk yang sudah digunakan oleh konsumen untuk didaur ulang atau dimanfaatkan kembali. Contohnya adalah penarikan produk setelah konsumsi untuk diproses ulang, yang akan mengurangi beban sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Harus Mengubah Praktik Bisnis
Meskipun kebijakan ini memberikan harapan besar bagi keberlanjutan lingkungan, tantangan dalam implementasinya tidaklah kecil. Beberapa sektor industri, terutama yang bergantung pada kemasan sekali pakai, mungkin akan menghadapi hambatan dalam mengubah praktik bisnis mereka. Selain itu, sektor ritel dan industri jasa juga perlu beradaptasi dengan perubahan pola konsumsi yang lebih ramah lingkungan.
Baca juga: Inovasi Baru, Daur Ulang Plastik E-Waste Tanpa Polusi
Namun, dengan dukungan regulasi yang kuat dan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perbaikan dalam pengelolaan sampah dan membawa dampak positif bagi lingkungan Indonesia.
- Foto: Ilustrasi/ Mary Se/ Pexels.