JAKARTA semakin serius menghadapi tantangan kualitas udara. Langit yang kerap diselimuti kabut polusi mendorong langkah konkret dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Salah satunya: pemasangan 111 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) yang kini tersebar merata di berbagai titik ibu kota.
Langkah ini bukan sekadar simbolik. Lewat SPKU, data kualitas udara kini bisa diakses secara real-time oleh masyarakat. Cukup buka aplikasi Jakarta Kini (JAKI) atau kunjungi laman udara.jakarta.go.id, dan informasi terkait indeks pencemaran udara bisa dilihat langsung.
Transparansi Data untuk Aksi Nyata
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menegaskan bahwa data yang ditampilkan berbasis pada Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Sistem ini dirancang mengikuti Peraturan Menteri LHK No. 14 Tahun 2020, yang mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan, ekosistem, dan kenyamanan visual.
“Indeks ini jadi acuan penting. Lewat JAKI, masyarakat bisa melihat peta lokasi pemantauan, tahu level polusi hari ini, dan langsung mendapatkan panduan langkah yang harus diambil,” ujar Asep.
Baca juga: Meniru Kota Dunia, Strategi Baru Jakarta Atasi Polusi Udara
Panduan tersebut tidak hanya berguna bagi warga yang hendak beraktivitas di luar ruangan, tapi juga penting bagi kelompok rentan—anak-anak, lansia, dan mereka yang memiliki penyakit pernapasan.
Sensor Cerdas dan Literasi Data
Di balik teknologi, ada tantangan tak kalah besar: literasi data. Menurut Direktur Indonesia untuk Clean Air Asia, Ririn Radiawati Kusuma, masyarakat masih kerap bingung memahami perbedaan antara data dari pemerintah dan platform swasta seperti IQAir.

“Setiap negara punya standar sendiri. Data kualitas udara di China berbeda dengan di AS, dan tentu juga dengan Indonesia,” kata Ririn. Ia menekankan pentingnya merujuk pada data resmi untuk pengambilan keputusan yang lebih akurat.
Baca juga: Polusi Udara Indonesia, Mengapa Masih yang Terburuk di Asia Tenggara?
Banyak sensor di platform internasional dipasang oleh individu atau komunitas. Meski bermanfaat, data semacam ini belum tentu tervalidasi dan bisa saja tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya.
“Sensor-sensor non-pemerintah perlu dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti data utama,” tambahnya. Validasi, pemeliharaan, dan kalibrasi berkala menjadi syarat mutlak agar informasi yang diberikan tidak menyesatkan.
Menuju Kota Berbasis Data dan Kesadaran Kolektif
Pemasangan SPKU di 111 titik bukan hanya soal teknologi, tapi juga representasi niat untuk membangun kota yang sadar akan keberlanjutan. Di tengah tekanan populasi dan pertumbuhan ekonomi yang masif, kualitas udara kini jadi isu lingkungan yang paling dirasakan oleh warga.
“Jakarta bisa menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia,” ujar Ririn. Menurutnya, inisiatif ini bisa mendorong keterlibatan lebih luas—dari sektor pendidikan hingga pelaku bisnis dan komunitas warga.
Baca juga: Biaya Polusi Udara Jakarta: Rp52 T Setiap Tahun
Namun kerja besar ini tak bisa diserahkan hanya kepada pemerintah. Kesadaran kolektif menjadi kunci. Penggunaan transportasi publik, pengurangan pembakaran terbuka, dan adopsi gaya hidup rendah emisi harus ikut mengiringi kebijakan teknologi.
Di balik deretan angka dan indeks, ada narasi besar tentang hak warga atas udara bersih. Dan lewat JAKI, barangkali inilah salah satu momen pertama ketika warga Jakarta bisa melihat—secara nyata dan berbasis data—apa yang selama ini mereka hirup. ***
- Foto: Dok. DLH Jakarta.