Karhutla Bukan Bencana Alam, tapi Ulah Manusia

KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) kembali membayangi Indonesia. Hingga Juli 2025, luas area terdampak sudah mencapai 8.594 hektare, dengan 854 titik panas tersebar di berbagai wilayah. Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Riau menjadi tiga daerah dengan kebakaran terluas.

Lebih dari 80 persen lahan terbakar merupakan tanah gambut yang sangat rentan terhadap api. Sisanya adalah lahan mineral. Menariknya, hampir seluruh kejadian terjadi di luar kawasan hutan, menunjukkan bahwa tekanan terhadap bentang alam tak hanya terjadi di area konservasi.

Puncak Musim Kering, Tim Siaga di Lapangan
“Tim kami sudah bersiaga di lapangan sejak awal Juli. Ini masa krusial, karena puncak kebakaran biasanya terjadi hingga November,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Lukita Awang, dalam konferensi pers di Jakarta, 23 Juli 2025.

Kementerian Kehutanan kini mengintensifkan pemantauan wilayah berisiko tinggi. Salah satu langkah cepat yang dilakukan adalah Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) di daerah rawan seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Dalam operasi ini, ribuan kilogram garam disemai untuk merangsang hujan. Total 34.300 kg garam telah digunakan sejauh ini.

Faktor Utama: Ulah Manusia, Bukan Iklim
Namun di luar faktor teknis, akar persoalan tetap menyangkut manusia. “Mayoritas karhutla di kawasan tropis ASEAN, termasuk Indonesia, disebabkan aktivitas manusia,” ungkap Kepala Subdit Penanggulangan Kebakaran Hutan Kemenhut, Israr Albar.

Faktor iklim tahun ini sebenarnya relatif netral. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan tak ada pengaruh kuat El Niño atau Indian Ocean Dipole (IOD) yang biasanya memperparah kekeringan. Artinya, faktor cuaca tak bisa dijadikan alasan utama.

Baca juga: Karhutla 2025 Mengancam, Riau Jadi Alarm Awal untuk Indonesia

Penguatan Respons Darurat di Daerah Rawan

Untuk merespons situasi darurat, Kemenhut mengerahkan hampir 1.000 personel Manggala Agni ke 17 wilayah operasional. Di Riau, terdapat empat daerah operasi yang masing-masing diperkuat puluhan personel. Bahkan, delapan regu tambahan dikerahkan untuk memperkuat pemadaman darat di Rokan Hilir.

Baca juga: FireSat dan AI, Revolusi Baru dalam Pencegahan Kebakaran Hutan

Dalam situasi seperti ini, pendekatan responsif tak lagi cukup. Diperlukan strategi pencegahan jangka panjang yang melibatkan seluruh elemenpemerintah daerah, korporasi, hingga komunitas lokal, untuk memastikan bahwa karhutla tak menjadi agenda tahunan yang terus diulang. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Pixabay/ PexelsAsap dan api membakar kawasan berhutan, menunjukkan dampak serius karhutla terhadap ekosistem. Sebagian besar kebakaran di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia, bukan semata-mata faktor alam.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *