LANGKAH Organisasi Maritim Internasional (IMO) memperkenalkan pajak karbon global pertama bagi industri pelayaran memang terdengar monumental. Tapi bagi banyak negara berkembang, terutama negara-negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim, keputusan ini justru mengecewakan.
Setelah dua pekan perundingan di London, IMO mengumumkan kebijakan yang mulai berlaku pada 2028. Kapal-kapal dengan emisi tinggi akan dikenakan pungutan karbon sebesar USD 380 per ton, ditambah USD 100 per ton untuk emisi yang melebihi ambang batas. Targetnya: mengurangi emisi dari industri yang menyumbang hampir 3 persen dari total karbon global.
Namun, bukan hanya jumlahnya yang dipersoalkan. Kecepatannya juga dinilai kurang memadai. Banyak negara berkembang menganggap langkah ini terlalu lambat untuk menghadapi krisis iklim yang semakin akut.
Kritik dari Negara-negara Kepulauan
Delegasi dari Kepulauan Pasifik menyatakan kekecewaannya secara terbuka. Mereka menilai kebijakan ini tak cukup kuat untuk melindungi wilayah mereka dari dampak perubahan iklim, mulai dari naiknya permukaan laut hingga cuaca ekstrem.
“Perjanjian ini terlalu sedikit dan datang terlalu terlambat untuk memangkas emisi dari pelayaran serta melindungi pulau-pulau kami,” ujar salah satu perwakilan yang akhirnya memilih abstain dalam pemungutan suara.
Baca juga: Krisis Iklim, Mengapa Kenaikan 2 Derajat Celsius Bisa Mengubah Dunia?
Total ada 24 negara yang menyatakan ketidakpuasan, termasuk sembilan negara Pasifik. Mereka menganggap IMO terlalu kompromistis terhadap kepentingan negara-negara besar dan perusahaan pelayaran raksasa.
Amerika Menarik Diri
Sikap Amerika Serikat justru lebih konfrontatif. Negeri itu menarik diri dari proses negosiasi dan menyatakan menolak seluruh bentuk pungutan terhadap kapal berbendera AS. Washington menyebut kebijakan tersebut sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional dan mengklaim bahwa itu akan merugikan sektor pelayaran domestiknya.
Langkah AS ini menambah kompleksitas dalam upaya global menurunkan emisi di sektor pelayaran. Tanpa partisipasi negara-negara besar seperti AS, efektivitas kebijakan ini jadi dipertanyakan.

Potensi Dana yang Minim
IMO memperkirakan pungutan karbon ini bisa mengumpulkan sekitar USD 10 miliar per tahun. Tapi, banyak pihak menyebut angka itu terlalu kecil dibanding potensi maksimalnya. Jika menerapkan skema pajak tetap yang lebih ambisius, pendapatan bisa mencapai USD 60 miliar per tahun—jumlah yang dapat memberikan dampak besar bagi pendanaan iklim, terutama untuk negara berkembang.
Pakar lingkungan menyebut, selain sebagai alat pengendali emisi, pajak karbon seharusnya menjadi mekanisme redistribusi keadilan iklim. Negara-negara yang paling terdampak harus mendapatkan dukungan finansial dan teknologi untuk beradaptasi.
Target IMO Dinilai Tidak Sejalan dengan Paris Agreement
IMO menargetkan pengurangan emisi sebesar 20 persen pada 2030. Tapi, para pemerhati iklim menilai angka ini tidak cukup untuk mendukung target menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius, sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Paris.
Baca juga: IMO Perkuat Aksi Lawan Sampah Plastik Laut
Dengan pelayaran mengangkut 90 persen perdagangan dunia, transformasi sektor ini menjadi vital dalam agenda global menuju ekonomi rendah karbon. Namun, transformasi tidak akan terjadi tanpa komitmen kuat dan kebijakan yang progresif.
Belum Bisa Disebut Terobosan
Negara berkembang berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka membutuhkan perdagangan laut untuk menopang ekonomi. Di sisi lain, mereka adalah yang paling rentan terhadap dampak iklim.
Baca juga: COP30, Harapan Negara Berkembang untuk Pendanaan Iklim Lebih Adil
Kritik yang muncul bukan sekadar penolakan, tapi seruan untuk keadilan iklim. Negara berkembang ingin kebijakan iklim global tidak hanya mengatur, tapi juga mendukung mereka untuk beradaptasi dan tumbuh secara berkelanjutan.
Langkah IMO mungkin menjadi awal, tapi belum bisa disebut terobosan. Dunia kini menunggu gebrakan berikutnya: kebijakan yang lebih ambisius, adil, dan benar-benar berpihak pada masa depan bersama. ***
- Foto: Ilustrasi/ Oleksiy Ukraine/ Pexels.