Kota-kota di Jawa Jadi Episentrum Emisi Individu

WARGA kota di Pulau Jawa menyumbang emisi karbon individu tertinggi dibanding penduduk di kawasan semi perkotaan dan perdesaan. Temuan ini diungkap Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam laporan terbarunya yang menyoroti peran gaya hidup masyarakat terhadap krisis iklim yang semakin nyata.

Rata-rata emisi karbon individu di wilayah perkotaan mencapai 3,4 ton setara karbon dioksida (CO₂e) per tahun. Jumlah ini setara dengan karbon yang hanya bisa diserap oleh 25 pohon selama dua dekade.

“Penyumbang terbesar berasal dari transportasi, makanan, dan konsumsi energi rumah tangga,” kata Deon Arinaldo, Manajer Transformasi Sistem Energi IESR, Rabu (23/7/2025).

Kajian dilakukan di sembilan wilayah dengan karakteristik geografis berbeda, meliputi Jakarta Selatan, Bandung, Yogyakarta (perkotaan); Bogor, Cirebon, Serang (semi perkotaan); serta Purworejo, Banjarnegara, dan Cianjur (perdesaan). Dari total populasi 11,7 juta jiwa, 483 responden menjadi sampel penelitian.

Baca juga: Mobilitas Berkelanjutan Berpotensi Tekan Emisi Transportasi hingga 76%

Hasilnya menunjukkan, emisi rata-rata per individu di perkotaan sebesar 3,39 ton CO₂e per tahun. Di wilayah semi perkotaan, angkanya 2,81 ton, dan di perdesaan hanya 2,33 ton.

Transportasi Kontributor Utama Emisi

Menurut IESR, dominasi kendaraan pribadi di perkotaan menjadi faktor utama tingginya emisi transportasi, yang menyumbang 43,34 persen dari total jejak karbon individu. Disusul konsumsi makanan (34,91 persen), terutama produk olahan dan hewani, serta konsumsi energi rumah tangga (21,08 persen), seperti penggunaan listrik dan LPG.

Kemacetan di salah satu ruas utama Jakarta pada jam sibuk. Dominasi kendaraan pribadi jadi penyumbang utama emisi karbon di wilayah perkotaan. Foto: Dapur Melodi/ Pexels.

Tak hanya soal angka, studi ini juga menyoroti ketimpangan. Warga dengan pendapatan tinggi menghasilkan emisi lebih besar karena konsumsi yang intensif. Namun, dampak krisis iklim justru lebih dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah yang punya akses terbatas pada layanan dasar dan perlindungan sosial.

Baca juga: Lebih Sedikit Emisi, Lebih Banyak Kehidupan Layak

“Keadilan iklim menjadi kunci. Kita tak bisa menggeneralisasi kebijakan pengurangan emisi,” tegas Koordinator Clean Energy Hub IESR, Irwan Sarifudin.

Solusi Berbasis Wilayah

IESR merekomendasikan dua strategi utama. Pertama, menurunkan emisi sektor transportasi. Di kota, fokusnya adalah integrasi moda transportasi, pengembangan jalur sepeda, dan pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik. Di semi kota, akses transportasi publik dan park-and-ride harus diperluas. Di desa, insentif kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya menjadi krusial.

Kedua, efisiensi energi rumah tangga. Mulai dari subsidi lampu hemat energi, inverter, hingga pembiayaan ringan untuk pemasangan panel surya. Di sektor makanan, edukasi publik dan kolaborasi dengan produsen penting untuk mendorong konsumsi rendah emisi yang tetap terjangkau.

Baca juga: Jakarta Matikan Lampu Sejam, Hemat Energi dan Turunkan Emisi 54 Ton CO2

Untuk meningkatkan kesadaran, IESR juga meluncurkan platform Jejakkarbonku.id, kalkulator daring yang memungkinkan individu menghitung emisi harian mereka berdasarkan pola hidup.

“Kesadaran individu akan jejak karbon bisa mendorong perubahan gaya hidup sekaligus tekanan pasar terhadap produk dan layanan rendah emisi,” kata Deon.

Dengan suhu global terus menanjak, strategi pengurangan emisi yang adil dan kontekstual kini menjadi keniscayaan. Bukan hanya demi lingkungan, tapi juga demi keadilan sosial yang lebih luas. ***

  • Foto: Tom Fisk/ PexelsKepadatan kota metropolitan seperti Jakarta memperlihatkan tingginya aktivitas konsumsi dan energi, yang berkontribusi besar terhadap emisi karbon individu.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *