Mengapa Beberapa Negara Belum Meratifikasi Kesepakatan Paris?

KESEPAKATAN Paris, pakta iklim global yang mengikat 194 dari 197 negara anggota PBB, menjadi tonggak penting dalam upaya menekan laju perubahan iklim. Namun, tidak semua negara menjadi bagian dari perjanjian ini. Amerika Serikat pernah keluar dari pakta tersebut di era Donald Trump, meski kemudian kembali bergabung di bawah Presiden Joe Biden. Selain itu, tiga negara di Asia—Iran, Libya, dan Yaman—juga belum meratifikasi Kesepakatan Paris.

Lalu, mengapa negara-negara ini belum bergabung penuh? Mari kita telusuri alasan di balik keputusan mereka.

Iran, Terkekang oleh Sanksi Internasional

Iran, produsen minyak terbesar ke-4 di dunia dengan kontribusi sekitar 2% terhadap emisi global, menghadapi dilema besar. Mantan Presiden Hassan Rouhani sebenarnya sempat mendorong ratifikasi Kesepakatan Paris pada 2015, tetapi usulan itu ditolak oleh Dewan Wali, badan otoritas tertinggi di negara tersebut.

Yaser Jebraili, seorang analis kebijakan di Iran, menyebut sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Amerika Serikat menjadi hambatan utama. Sanksi tersebut memengaruhi kemampuan Iran untuk mengakses teknologi dan pendanaan yang dibutuhkan untuk melawan perubahan iklim.

Dalam pertemuan COP26 di Glasgow pada 2021, Iran kembali menegaskan komitmennya untuk mendukung upaya global menghadapi krisis iklim, tetapi hanya jika sanksi internasional terhadapnya dicabut. Dengan ekonomi yang sangat bergantung pada minyak, Iran juga menghadapi risiko pemadaman listrik yang kerap terjadi di masa lalu, menjadikan kebijakan energi terbarukan sulit untuk diterapkan.

Teheran, ibu kota Iran, menjadi saksi kompleksitas politik dan ekonomi yang menghambat negara ini untuk meratifikasi Kesepakatan Paris, meskipun dampak perubahan iklim semakin dirasakan. Foto: Kamran Gholami/ Pexels.

Libya, Konflik dan Ketidakstabilan Politik

Libya, negara yang menandatangani Kesepakatan Paris pada 2016, hingga kini belum meratifikasinya. Penyebab utamanya adalah konflik berkepanjangan dan ketidakstabilan politik yang melanda negara itu sejak jatuhnya rezim Muammar Gaddafi pada 2011.

Menurut Mary Fitzgerald, peneliti di The Italian Institute for International Study (ISPI), Libya bahkan belum menyampaikan inventori karbon kepada UNFCCC, sesuatu yang menjadi kewajiban bagi negara-negara anggota.

Padahal, Libya memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin. Namun, rancangan pengembangan energi ini terhambat oleh kurangnya peran sektor swasta dan monopoli oleh perusahaan milik negara. Frederic Wehrey dari Carnegie Middle East Center menyoroti bahwa ketidakstabilan politik membuat isu perubahan iklim terpinggirkan dari prioritas pemerintah.

Yaman, Krisis yang Lebih Mendesak

Seperti Libya, Yaman juga menandatangani Kesepakatan Paris pada 2016 tetapi belum meratifikasinya. Konflik bersenjata yang telah berlangsung bertahun-tahun di negara ini menjadi penghalang utama. Dalam kondisi yang serba darurat, perubahan iklim dianggap bukan prioritas mendesak.

Meski demikian, Yaman sebenarnya telah mengajukan dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC) sebelum menandatangani pakta tersebut. Dalam dokumen itu, Yaman menargetkan penurunan emisi sebesar 14% pada 2030, meski sebagian besar targetnya bersyarat pada dukungan internasional.

Kota Sanaa, ibu kota Yaman, menghadapi tantangan besar dalam meratifikasi Kesepakatan Paris, sementara negara ini berjuang dengan konflik politik yang menghambat upaya perubahan iklim. Foto: Shaker Abdullah/ Pexels.

Kesepakatan Paris: Sukarela, tapi Penting

Kesepakatan Paris bersifat sukarela tanpa sanksi hukum bagi negara yang menolak bergabung. Namun, bagi negara yang telah meratifikasinya, ada kewajiban untuk menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC) sebagai bentuk komitmen terhadap pengurangan emisi.

Indonesia sendiri sudah meratifikasi Kesepakatan Paris sejak 31 Oktober 2016. Sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi tinggi, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 31,89% pada 2030.

Kompleksitas Masalah Mencapai Keberlanjutan Global

Kisah negara-negara yang belum bergabung dengan Kesepakatan Paris mencerminkan kompleksitas masalah yang dihadapi dunia dalam mencapai tujuan keberlanjutan. Dari sanksi ekonomi hingga konflik politik, tantangan ini menunjukkan bahwa upaya melawan perubahan iklim memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan fleksibel.

Negara-negara maju yang memimpin Kesepakatan Paris harus memberikan dukungan nyata, baik melalui pendanaan maupun transfer teknologi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa semua negara, termasuk yang tengah dilanda krisis, dapat berkontribusi dalam upaya global menghadapi perubahan iklim. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *