Revisi UU Kehutanan, Ujian Keadilan bagi Masyarakat Adat

REVISI Undang-Undang Kehutanan kembali menjadi sorotan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak agar perubahan ini tidak hanya mengakomodasi kepentingan bisnis, tetapi juga melindungi hutan dan hak masyarakat adat. Jika tidak ada perubahan mendasar, RUU Kehutanan berpotensi tetap menjadi alat eksploitasi sumber daya hutan dengan dalih transisi energi dan ketahanan pangan.

Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menegaskan bahwa reformasi kebijakan kehutanan harus menjadi prioritas utama. Menurutnya, UU Kehutanan yang berlaku saat ini masih berakar pada warisan kolonialisme dan sering kali digunakan untuk mengenyampingkan hak masyarakat adat.

“UU Kehutanan itu warisan kolonialisme yang dijadikan alat perampasan tanah masyarakat adat. Butuh perubahan paradigmatik agar pengelolaan hutan lebih adil dan inklusif,” ujar Anggi, Rabu (26/2/2025).

Pendapat serupa disampaikan Erwin Dwi Kristianto dari Huma. Ia menyoroti bahwa sejak era kolonial, UU Kehutanan masih menggunakan asas domein verklaring—konsep yang menyatakan bahwa tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan otomatis menjadi milik negara. Hal ini membuat masyarakat adat terus tersingkir dari hak atas hutan yang telah mereka kelola secara turun-temurun.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat, Jalan Panjang Menuju Pengesahan

“Revisi UU Kehutanan harus memperbaiki ketimpangan ini. Hak-hak masyarakat adat harus diakui lebih dulu sebelum menentukan kawasan hutan negara dan hutan hak,” tegas Erwin.

Keadilan Iklim dan Perlindungan Keanekaragaman Hayati

Masyarakat sipil juga menuntut agar revisi ini mengakomodasi prinsip keadilan iklim serta mendukung upaya perlindungan keanekaragaman hayati. DPR, pemerintah, dan berbagai pihak terkait harus memastikan bahwa kebijakan kehutanan sejalan dengan target pengurangan emisi serta komitmen global dalam mitigasi perubahan iklim.

Masyarakat adat menggantungkan hidupnya pada hutan, tetapi hak mereka masih belum sepenuhnya diakui. Revisi UU Kehutanan diharapkan menjadi jalan bagi keadilan dan keberlanjutan. Foto: Ilustrasi/ Ricardo Santanna/ Pexels.

Keberhasilan revisi UU Kehutanan akan sangat menentukan masa depan hutan Indonesia. RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dan menjadi agenda utama pembahasan Komisi IV DPR RI pada tahun 2025.

Baca juga: Hutan Adat: Menyelamatkan Bumi, Melindungi Hak Leluhur

Lima Pilar Pengelolaan Hutan Berkelanjutan

Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa agar sektor kehutanan dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, ada lima aspek utama yang perlu dibenahi:

  1. Penguatan Tata Ruang Kehutanan melalui sistem Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
  2. Pemanfaatan Hutan Berbasis Silvikultur agar eksploitasi tetap terkendali.
  3. Penguatan Rantai Suplai Industri Kehutanan dari sektor hulu hingga hilir.
  4. Pemberian Hak Kelola kepada Masyarakat Adat dan Lokal sesuai prinsip keberlanjutan.
  5. Peningkatan Tata Kelola Pemerintahan agar kebijakan kehutanan lebih terintegrasi.

Baca juga: Masyarakat Adat, Penjaga Bumi yang Terabaikan dalam Krisis Global

Menurut Rokhmin, pengelolaan hutan tidak boleh hanya didominasi oleh korporasi besar. “Dengan begitu, hutan tidak lagi menjadi dilema, melainkan sumber pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai mitra aktif dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan. Jika kebijakan ini dapat diterapkan dengan baik, Indonesia berpeluang menjadi model pengelolaan hutan yang seimbang antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *