SENIN, 10 Maret 2025, menjadi tonggak baru dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Pemerintah resmi melarang praktik pembuangan sampah di lahan terbuka atau open dumping. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya besar untuk menyelesaikan krisis sampah yang kian menggunung di berbagai daerah.
“Sampah harus masuk, dikelola sampai habis sempurna,” ujar Zulhas dalam konferensi pers di Kemenko Pangan, Jakarta Pusat, Jumat (7/3/2025). Larangan ini juga diiringi dengan penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) baru yang akan menggantikan tiga perpres sebelumnya terkait pengelolaan sampah.
Kenapa Open Dumping Harus Dihentikan?
Open dumping adalah metode pembuangan sampah yang paling primitif dan merusak lingkungan. Sampah yang dibiarkan menumpuk di lahan terbuka menyebabkan pencemaran tanah, air, dan udara. Gas metana yang dihasilkan dari pembusukan sampah berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sementara limbah cairnya mencemari sumber air tanah.
Baca juga: Pasar dan Sampah, Tantangan Besar Solusi Berkelanjutan
Indonesia menghadapi krisis sampah yang serius. Dengan pertumbuhan populasi dan urbanisasi, timbunan sampah semakin sulit dikendalikan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Indonesia menghasilkan sekitar 68 juta ton sampah per tahun. Dari jumlah tersebut, 60% masih ditangani dengan cara konvensional, termasuk open dumping.
Strategi Baru: Dari Open Dumping ke Pengelolaan Berbasis Teknologi
Sebagai langkah konkret, pemerintah menargetkan penyelesaian masalah sampah di 30 provinsi dalam lima tahun ke depan. Perpres baru yang sedang disusun akan menggantikan tiga regulasi lama, yaitu:
- Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut
- Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik
- Perpres Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
“Pengelolaan sampah ini rumit karena ada banyak regulasi yang tumpang tindih. Kami ingin memangkas prosedur agar lebih efektif,” jelas Zulhas.

Dampak Kebijakan di Antara Tantangan dan Harapan
Keputusan ini tentu menimbulkan tantangan bagi pemerintah daerah dan sektor industri. Banyak tempat pembuangan akhir (TPA) masih menggunakan sistem open dumping, dan peralihan ke metode yang lebih ramah lingkungan membutuhkan investasi besar.
Baca juga: Indonesia Dapat Dana 4,5 Juta Dolar, Mampukah Atasi Krisis Sampah Plastik?
Namun, ada harapan besar dari kebijakan ini. Dengan sistem pengelolaan sampah yang lebih modern, seperti insinerator ramah lingkungan dan teknologi daur ulang, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada lahan pembuangan. Selain itu, pemerintah berencana menerapkan sistem tarif baru yang lebih transparan dan efisien.
“Tipping fee akan dihapus. Sebagai gantinya, tarifnya dinaikkan dari 13,35 sen menjadi sekitar 19-20 sen per kWh. Selisihnya akan disubsidi oleh Kementerian Keuangan,” ungkap Zulhas.
Kolaborasi Menuju Indonesia Bebas Sampah
Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Masyarakat dan dunia usaha harus terlibat dalam pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab. Edukasi dan perubahan perilaku menjadi kunci sukses kebijakan ini.
Baca juga: Bank Sampah, Tulang Punggung Industri Daur Ulang yang Masih Kekurangan Pasokan
Selain itu, industri daur ulang dan energi berbasis sampah harus didorong agar menjadi bagian dari solusi jangka panjang. Dengan kebijakan yang tepat dan komitmen semua pihak, Indonesia bisa mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang lebih modern dan berkelanjutan.
Kini, tantangannya adalah bagaimana implementasi di lapangan dapat berjalan efektif. Apakah Indonesia siap beralih dari open dumping menuju pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan? Hanya waktu yang akan menjawabnya. ***
- Foto: Tom Fisk/ Pexels.