Saat Kayu Jadi Masa Depan Arsitektur Ramah Lingkungan

DI BALIK setiap rumah kayu tradisional Jepang, tersembunyi filosofi mendalam tentang hubungan manusia dengan alam. Bukan sekadar pilihan estetika, kayu telah lama menjadi simbol keberlanjutan yang tumbuh bersama budaya.

Jepang, negeri dengan tutupan hutan sekitar 68 persen dari total wilayahnya, sejak dulu mengandalkan kayu sebagai bahan utama konstruksi rumah. Dari struktur rangka, dinding, hingga ornamen kecil, kayu seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Arsitek dan akademisi Jepang, Profesor Nobuaki Furuya, menyebut kayu sebagai material yang familiar dan bersahabat. “Orang membangun dari apa yang tersedia di sekitarnya,” katanya dalam satu wawancara dengan wartawan.

Konsep ini tak hanya berlaku di Jepang. Igloo di Antartika, bata jerami di Afrika, hingga rumah panggung bambu di Asia Tenggara menunjukkan bagaimana material lokal menjadi kunci adaptasi terhadap iklim dan budaya. Pendekatan ini dikenal sebagai vernacular architecture, atau arsitektur lokal, yang kini kembali diperbincangkan di tengah krisis iklim dan pencarian solusi bangunan yang lebih hijau.

Kayu, Material Hidup yang Bernapas

Tidak seperti material anorganik seperti beton atau baja, kayu dianggap “hidup.” Ia menyerap kelembapan, mengatur suhu ruangan, dan memiliki aroma alami yang menenangkan. Penelitian menunjukkan, ruang yang dibangun dengan kayu dapat menurunkan kadar stres dan bahkan mengurangi risiko infeksi seperti influenza. Pada sekolah-sekolah berbasis kayu, tingkat penularan flu lebih rendah dibanding bangunan baja bertulang.

Baca juga: Deforestasi, Ancaman Nyata atau Ketakutan Berlebihan?

Dalam perspektif keberlanjutan, kayu memiliki keunggulan tersendiri. Bila dipanen secara bertanggung jawab, ia dapat terbarukan, menyimpan karbon, dan memberikan manfaat ekologis bagi kawasan hutan yang dikelola. Ini menjadikan kayu sebagai material strategis di tengah upaya global menekan emisi industri konstruksi.

Rumah tradisional Jepang yang seluruh strukturnya terbuat dari kayu, mencerminkan harmoni antara arsitektur dan alam. Foto: Ryutaro Tsukata/ Pexels.

Tantangan Zaman Modern

Namun, kayu tak selalu jadi pilihan utama dalam dunia konstruksi modern. Jepang menjadi saksi bagaimana bencana seperti gempa bumi dan kebakaran besar memaksa perubahan. Rumah-rumah pascaperang mulai beralih ke beton, baja, dan bahan tahan api. Kayu dianggap terlalu rentan untuk menghadapi risiko masa depan.

Tapi tren perlahan berubah. Berkat kemajuan teknologi rekayasa bangunan, kayu kini dipadukan dengan sistem penguat tahan gempa dan api. Struktur hibrida—menggabungkan kayu dengan baja atau beton—muncul sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Bahkan, gedung-gedung bertingkat mulai dibangun dengan balok kayu laminasi silang (cross-laminated timber/CLT), yang menawarkan kekuatan setara beton dengan jejak karbon jauh lebih rendah.

Peluang untuk Indonesia

Bagi Indonesia, pelajaran dari Jepang bisa menjadi inspirasi sekaligus tantangan. Di negeri tropis ini, kayu dan bambu bukanlah hal asing. Namun, ekspansi industri, deforestasi, dan ketergantungan pada bahan bangunan konvensional membuat kayu sering kali dipandang sebelah mata.

Baca juga: Plana, Inovasi Ramah Lingkungan dari Sampah Plastik dan Gabah Padi

Padahal, dengan pengelolaan hutan lestari, bahan-bahan alami seperti kayu bisa menjadi kunci dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Arsitektur Nusantara yang ramah iklim, ventilatif, dan menggunakan material lokal perlu diangkat kembali sebagai model masa depan.

Para arsitek, pembuat kebijakan, dan pelaku industri konstruksi ditantang untuk tidak hanya membangun cepat dan murah, tapi juga membangun yang berpihak pada bumi. Pemanfaatan kayu secara bijak bukan nostalgia masa lalu, melainkan fondasi untuk hunian masa depan yang sehat dan rendah karbon. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *