KONFLIK agraria dan tumpang tindih lahan di Indonesia memasuki babak baru. Pemerintah menegaskan bahwa sertifikat hak milik (SHM) dan hak guna usaha (HGU) yang terbit setelah kawasan ditetapkan sebagai hutan harus dibatalkan.
Kesepakatan ini dicapai dalam rapat antara Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di Jakarta, 5 Februari 2025. Langkah ini menjadi bagian dari upaya reformasi agraria dan perbaikan tata kelola ruang yang lebih berkelanjutan.
Memenangkan Hutan, Merapikan Administrasi
Keputusan ini berangkat dari sejarah panjang tumpang tindih lahan di Indonesia. Banyak lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan kemudian mendapat sertifikat hak milik atau HGU secara tidak sah.
“Kalau dulunya ada sertifikat hutan di peta hutan, lalu muncul SHM atau HGU, maka hak tersebut harus dibatalkan. Hutan harus dimenangkan,” tegas Nusron.
Baca juga: Misi Baru Polri Menghadang Perusakan Hutan demi Keberlanjutan Alam
Sebaliknya, jika ada lahan berstatus SHM atau HGU sebelum ditetapkan sebagai hutan, maka perlu dimasukkan kembali ke dalam peta pertanahan.
Pemerintah menilai kebijakan ini sebagai koreksi atas kesalahan masa lalu. Banyak kasus di mana izin lahan perkebunan dan transmigrasi tumpang tindih dengan kawasan hutan, menciptakan konflik antara masyarakat, perusahaan, dan negara.
Tumpang Tindih Sawit dan Transmigrasi
Salah satu contoh nyata dari permasalahan ini adalah perkebunan sawit. Selama bertahun-tahun, banyak lahan sawit beroperasi di atas kawasan hutan tanpa kepastian hukum. Hal serupa terjadi pada kawasan transmigrasi yang secara administratif tidak selaras dengan peta kehutanan.
Baca juga: 194 Perusahaan Sawit Bermasalah, Izin Lahan Dipertanyakan
“Contohnya sawit tumpang tindih dengan hutan banyak. Sawit tumpang tindih dengan transmigrasi juga banyak,” ungkap Nusron.
Masalah ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kepastian hukum bagi masyarakat dan investor. Tanpa kejelasan, konflik agraria berisiko terus berlanjut dan merugikan banyak pihak.

ILASPP, Upaya Merapikan Tata Ruang
Keputusan ini merupakan bagian dari program Integrated Land Administration and Spatial Planning Project (ILASPP). Program ini bertujuan menyelaraskan tata kelola lahan antar-kementerian, terutama antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Transmigrasi.
Dengan adanya ILASPP, pemerintah ingin memastikan bahwa perizinan dan administrasi lahan lebih tertib. Selain itu, program ini juga bertujuan mencegah penyalahgunaan izin di masa mendatang.
Baca juga: Hutan Adat: Menyelamatkan Bumi, Melindungi Hak Leluhur
Langkah ini diharapkan dapat menjadi solusi sistemik terhadap sengkarut agraria yang telah berlangsung lama. Dengan data yang lebih akurat dan kebijakan yang lebih tegas, konflik lahan dapat diminimalisir, dan prinsip keberlanjutan dapat diterapkan dengan lebih baik.
Dampak bagi Pemilik Lahan dan Investor
Keputusan pembatalan SHM dan HGU di kawasan hutan tentu membawa dampak bagi pemilik lahan dan pelaku usaha. Mereka yang terdampak harus segera melakukan penyesuaian, baik dengan mengajukan legalisasi ulang maupun merelakan lahannya dikembalikan ke negara.
Bagi perusahaan perkebunan, khususnya sawit, kebijakan ini bisa berarti revisi besar-besaran terhadap izin operasional mereka. Namun, bagi pegiat lingkungan, langkah ini menjadi kemenangan dalam upaya melindungi kawasan hutan yang tersisa.
Baca juga: Perhutanan Sosial, Jalan Swasembada Pangan Indonesia
Kunci keberhasilan kebijakan ini terletak pada implementasi dan pengawasannya. Jika aturan ini bisa ditegakkan dengan tegas, maka masalah tumpang tindih lahan yang selama ini menjadi sumber konflik dapat perlahan teratasi.
Pemerintah kini menghadapi tantangan besar: memastikan kebijakan ini berjalan tanpa menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi yang besar. Akankah reformasi agraria kali ini benar-benar membawa perubahan, atau justru menambah kompleksitas konflik lahan di Indonesia?
- Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.