BIAYA pengelolaan sampah bukan lagi hitungan miliaran. Pemerintah kini menghadapi tantangan besar, berupa kebutuhan pendanaan hampir Rp 300 triliun untuk membangun infrastruktur pengelolaan sampah nasional. Angka ini bukan sekadar retorika. Ini hasil dari simulasi kebutuhan berbagai jenis fasilitas. Mulai dari TPS 3R skala komunitas, hingga waste to energy (WTE) berskala industri.
Pembangunan satu tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) bisa menelan hingga Rp 20 miliar. Fasilitas RDF, biodigester, hingga WTE bahkan bisa menyedot dana hingga triliunan rupiah per unit. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan hal ini saat berbicara di Jakarta, awal pekan ini.
Namun, bukan sekadar uang yang dibutuhkan. Perubahan paradigma juga harus dikejar.
“Tata kelola harus diubah. Jangan terus membebani APBD. Semua sampah harus bisa jadi uang,” ujar Hanif lugas.
Logika ekonomi sirkular kini menjadi fondasi baru. Sampah bukan musuh, melainkan potensi sumber daya. Baik energi, kompos, maupun bahan baku daur ulang. Prinsip ini sejalan dengan tren global. Trennya, pembiayaan pengelolaan sampah tidak lagi bergantung sepenuhnya pada negara, tetapi bertumpu pada kolaborasi sektor privat, CSR perusahaan, dan dana internasional.
Akhiri Era TPA Terbuka
Di balik kebutuhan infrastruktur itu, ada satu fakta mencemaskan. Masih ada 343 TPA open dumping aktif di Indonesia. Praktik pembuangan terbuka ini bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga melanggar amanat UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Baca juga: Krisis Sampah 2028, Indonesia di Ambang Darurat Lingkungan
Kementerian LH kini mewajibkan pemerintah daerah menyusun peta jalan penutupan TPA dan menggantinya dengan sistem sanitary landfill atau controlled landfill. Bila tidak dipatuhi, sanksi administratif bahkan pidana bisa diterapkan.

Namun, tantangannya bukan teknis semata. Banyak daerah masih terbentur pada minimnya kapasitas kelembagaan, pendanaan, serta kesadaran masyarakat. Butuh langkah strategis, dukungan lintas sektor, dan keberanian politik untuk menutup lembaran lama pengelolaan sampah yang buruk.
Adipura Bukan Sekadar Penghargaan
Kementerian LH juga mengubah pendekatan dalam memberikan penghargaan lingkungan. Program Adipura 2025 kini tak lagi sekadar simbol, tetapi alat dorong perubahan sistemik. Pemerintah daerah yang masih memiliki TPS liar atau TPA terbuka otomatis terdiskualifikasi.
Penghargaan tertinggi Adipura Kencana hanya akan diberikan kepada kota dan kabupaten yang telah mengelola sampah secara optimal. TPA harus sudah menjadi sanitary landfill. Pengolahan minimal harus mencapai 50 persen. Tak boleh ada TPS liar. Sarana dan prasarana harus lengkap. Bahkan, hanya residu sampah yang boleh masuk ke TPA.
Baca juga: Kota Kotor, Peringatan Baru untuk Daerah Lalai Kelola Sampah
Sebaliknya, wilayah dengan pengelolaan di bawah 25 persen, tanpa anggaran memadai, dan masih menggunakan sistem open dumping akan diberi label “Kota Kotor”.
Hanif menegaskan bahwa sistem penilaian ini bukan semata reward, tapi instrumen kebijakan. “Kencananya memang ultimate sekali. Kalau tidak begitu, tidak akan mendapat Kencana,” ujarnya.
Melampaui Biaya, Menuju Visi
Di tengah tantangan perubahan iklim dan urbanisasi yang kian cepat, Indonesia tak punya banyak waktu. Perlu tindakan cepat, bukan hanya rencana jangka panjang. Butuh dana, ya. Tapi lebih dari itu, dibutuhkan politik keberanian dan visi jangka panjang.
Baca juga: Mengurai Masalah Sampah di Indonesia, dari Hulu hingga Hilir
Jika pendekatan swadaya dan teknologi bisa menyatu dalam sistem yang transparan dan berkeadilan, Rp 300 triliun itu bisa menjadi investasi, bukan beban. Saatnya membalik cerita sampah di Indonesia, dari persoalan menjadi peluang. ***
- Foto: Ilustrasi/ Eyez Heaven/ Pexels – Tumpukan sampah di TPA terbuka seperti ini masih ditemukan di ratusan daerah Indonesia. Tantangan besar di tengah upaya pemerintah membangun sistem pengelolaan sampah permanen senilai Rp 300 triliun.