Bali Awali Perang Plastik dari Botol Air

PEMERINTAH Provinsi Bali mengambil langkah berani dalam memerangi masalah sampah plastik dengan melarang produksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter. Kebijakan ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), sebagai bagian dari upaya mengurangi mikroplastik yang telah mencemari ekosistem global.

Dalam rapat koordinasi teknis pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Lingkungan Hidup pada 15 April 2025 di Tangerang Selatan, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan dukungannya terhadap kebijakan Gubernur Bali, Wayan Koster.

“Saya sepenuhnya mendukung upaya Gubernur Bali untuk menghentikan produksi plastik kemasan minuman kurang dari 1 liter. Ini adalah langkah serius untuk menjaga kualitas lingkungan Bali, yang merupakan wajah pariwisata kita,” ujar Hanif.

Model untuk Daerah Lain

Langkah ini bukan hanya untuk Bali, tetapi juga merupakan model yang bisa diterapkan di daerah lain. Kebijakan ini berangkat dari kesadaran bahwa mikroplastik telah tersebar luas di banyak ekosistem, bahkan hingga ke tubuh manusia melalui rantai makanan. Mikroplastik, yang berasal dari degradasi sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik, membawa dampak buruk, terutama logam berat yang dapat merusak kesehatan manusia.

Baca juga: Produsen Plastik Wajib Tanggung Jawab, Akankah Industri Berubah?

Data dari KLH menunjukkan bahwa pada 2024, Indonesia menghasilkan 33,7 juta ton sampah, dengan 19,64% di antaranya adalah sampah plastik. Angka ini menunjukkan urgensi kebijakan seperti yang diterapkan di Bali. Mikroplastik tidak hanya mencemari daratan tetapi juga laut, yang berpotensi mengancam ekosistem laut dan kesehatan manusia.

Bali dalam Amukan sampah Plastik

Bali, sebagai destinasi wisata utama Indonesia, telah lama menghadapi masalah sampah plastik. Keputusan untuk melarang AMDK botol plastik di bawah 1 liter merupakan bagian dari upaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan dan memperkuat citra Bali sebagai tujuan wisata ramah lingkungan. Larangan ini, yang tercantum dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025, akan melarang produsen memproduksi air minum dengan kemasan plastik sekali pakai di bawah 1 liter.

Baca juga: Mikroplastik Pangkas Panen Asia, 400 Juta Orang Berisiko Kelaparan

Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menyelesaikan persoalan sampah plastik di Pulau Dewata. “Kami tidak berniat untuk mematikan usaha lokal, tetapi kami menginginkan inovasi yang lebih ramah lingkungan. Pengusaha tetap boleh berproduksi, asalkan tidak menggunakan plastik sekali pakai yang merusak lingkungan,” tegasnya.

Botol plastik air minum kemasan sekali pakai berukuran kecil yang kini dilarang diproduksi di Bali sebagai upaya mengurangi pencemaran plastik dan mikroplastik. Foto: Ilustrasi/ Nerea Arance/ Pexels.

Wayan Koster memberikan contoh, seperti penggunaan botol kaca yang lebih ramah lingkungan, yang telah diterapkan di beberapa daerah di Bali seperti Karangasem.

Sebagai bagian dari kebijakan ini, Pemerintah Provinsi Bali juga berencana mengadakan pertemuan dengan pengusaha AMDK, baik perusahaan besar maupun Usaha Kecil dan Menengah (UKM), untuk mencari solusi bersama. Langkah ini membuka peluang bagi inovasi dalam kemasan ramah lingkungan, yang tidak hanya berfokus pada pengurangan sampah plastik, tetapi juga memberikan alternatif bagi industri lokal.

Dukungan untuk Labuan Bajo

Selain itu, dukungan terhadap kebijakan serupa juga diberikan untuk Labuan Bajo. Di sini, kebijakan pelarangan penggunaan AMDK botol dan gelas plastik telah diterapkan, dengan tujuan menjaga kebersihan dan keasrian kawasan wisata. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang bocor ke lingkungan, terutama ke laut, yang berpotensi mencemari ekosistem laut yang sangat bergantung pada keberlanjutan.

Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak

Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini bukan hanya soal larangan semata, tetapi juga tentang mengedukasi masyarakat dan industri tentang pentingnya perubahan pola konsumsi. Sebagai bagian dari upaya ini, KLH juga mendorong inovasi dalam desain kemasan yang lebih ramah lingkungan, serta mendorong pelaku usaha untuk berpikir lebih kreatif dalam menciptakan produk yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga ramah lingkungan.

Ke depan, upaya ini diharapkan dapat menginspirasi provinsi lain di Indonesia untuk mengadopsi kebijakan serupa. Sebagai negara dengan masalah sampah plastik yang cukup besar, langkah-langkah seperti yang diambil oleh Bali dapat menjadi contoh konkret dalam pengelolaan sampah plastik yang lebih berkelanjutan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *