Tanah dan Keadilan Sosial, Skema Plasma 20 Persen sebagai Jalan Tengah Baru

TANAH bukan sekadar lahan. Tanah adalah fondasi ekonomi, sumber pangan, dan akar identitas bagi jutaan warga Indonesia.Namun, akses terhadap tanah selama ini masih timpang. Di banyak wilayah, segelintir pihak menguasai ribuan hektare, sementara masyarakat sekitar hanya bisa menatap dari kejauhan.

Pemerintah kini mencoba membuka jalan tengah. Melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sebuah kebijakan baru digulirkan: setiap pemegang Hak Guna Usaha (HGU) wajib menyerahkan 20 persen lahan kepada masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan plasma.

Langkah ini bukan semata teknis birokrasi, tapi bagian dari ikhtiar panjang menuju keadilan agraria dan ekonomi berkelanjutan.

Membuka Akses, Menutup Kesenjangan

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, dalam pernyataannya di Semarang, menegaskan bahwa tanah harus bisa diakses oleh seluruh warga negara, bukan hanya elite bisnis atau korporasi besar.

“Ada tiga prinsip utama,” ujar Nusron. “Pertama, akses tanah harus merata. Kedua, tidak boleh ada monopoli. Ketiga, tanah harus menopang stabilitas ekonomi jangka panjang.”

Baca juga: Mengakhiri Ketimpangan Agraria, Jalan Panjang Menuju Keadilan

Skema plasma menjadi salah satu wujud konkret dari prinsip tersebut. Melalui pendekatan ini, masyarakat lokal tak hanya diberi jatah, tapi juga peran.

Mereka berhak mengelola, menanam, dan memanen di atas lahan yang sebelumnya berada di bawah otoritas eksklusif pemilik HGU. Jika aturan ini dilanggar, pemerintah tidak akan ragu untuk melakukan evaluasi.

Inti Kemitraan Plasma

Kemitraan plasma adalah pola kerja sama antara pemilik lahan (inti) dengan petani lokal (plasma). Dalam konteks ini, 20 persen dari lahan HGU dialokasikan kepada masyarakat untuk dikelola secara produktif.

Kemitraan plasma antara pemilik HGU dan masyarakat lokal menjadi instrumen baru pemerataan akses lahan demi keadilan agraria dan keberlanjutan ekonomi. Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.

Mekanismenya memungkinkan masyarakat memperoleh manfaat langsung, baik dalam bentuk penghasilan, akses produksi, maupun kepemilikan hasil panen. Praktik ini bukan hal baru. Tapi, telah diterapkan dalam beberapa sektor perkebunan seperti kelapa sawit. Namun, mewajibkan skema ini dalam setiap pemberian atau perpanjangan HGU adalah terobosan.

Keadilan Agraria dalam Wujud Nyata

Langkah ini mendapat perhatian dari kalangan akademisi dan pemerhati keberlanjutan. Banyak yang melihatnya sebagai pintu masuk baru menuju reformasi agraria berbasis kolaborasi, bukan konfrontasi.

“Kebijakan ini bisa menjadi game changer, asalkan ada pengawasan kuat dan transparansi dalam implementasi,” kata seorang peneliti tata kelola agraria dari sebuah lembaga riset lingkungan.

Baca juga: Sulawesi Tengah dan Luka di Balik Kilau Smelter: Siapa Untung, Siapa Tertinggal?

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan tanah juga memperkuat modal sosial dan ekonomi desa. Ia menghidupkan kembali ruang partisipasi warga yang selama ini terpinggirkan.

Implementasi dan Kepastian Hukum

Meski kebijakan ini progresif, tantangannya tetap besar. Mulai dari potensi konflik batas lahan, penolakan pemilik HGU, hingga ketiadaan peta yang jelas terkait tanah masyarakat adat dan lokal.

Baca juga: Sengkarut Sertifikat Ganda, Warisan Administrasi yang Jadi Bom Waktu

Tanpa basis data agraria yang kuat dan instrumen hukum yang tegas, skema plasma bisa mandek di tingkat narasi. Namun, Nusron yakin: Indonesia punya cukup modalitas untuk mengatur ulang relasi tanah dan rakyat.

Menuju Masa Depan Tanah yang Inklusif

Kebijakan 20 persen HGU untuk masyarakat lokal bukan hanya soal tanah. Ini adalah gambaran masa depan relasi negara dan warga. Relasi yang saling memberdayakan, bukan mengecualikan.

Dalam konteks keberlanjutan, ini adalah langkah penting untuk mendorong keadilan ekologi, distribusi sumber daya yang merata, dan pertumbuhan ekonomi desa yang partisipatif.

Tanah adalah ruang hidup. Dan kebijakan ini bisa menjadi titik balik agar tanah kembali menjadi milik dan ruang tumbuh bersama, bukan hanya aset yang diperdagangkan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *