Tahu dan Racun di Balik Dapur-dapur Desa

ASAP hitam mengepul dari cerobong-cerobong kecil di sebuah desa dekat Surabaya. Bau plastik terbakar menyesakkan udara. Di balik asap itu, tahu-tahu putih tercetak di wajan-wajan besar, siap masuk ke pasar dan meja makan. Murah, bergizi, tapi mengandung kisah yang tidak sesederhana rasa gurihnya.

Belakangan, sorotan kembali mengarah pada desa-desa produsen tahu di sekitar Surabaya. Sebuah video viral yang diunggah oleh konten kreator asing menunjukkan praktik penggunaan sampah plastik sebagai bahan bakar utama dalam proses produksi tahu.

Bukan kali pertama praktik ini disorot. Namun kali ini, narasinya kuat dan visualnya gamblang. Komentar demi komentar membanjiri media sosial. Tapi, apakah solusi juga ikut datang?

Plastik Solusi Bahan Bakar Murah?

Di dapur-dapur produksi tahu skala rumahan, biaya bahan bakar menjadi salah satu beban terberat. Banyak pengrajin tak punya pilihan selain mencari sumber panas yang paling murah dan mudah diakses. Plastik bekas adalah jawabannya.

“Plastik itu datang tiap hari. Sering. Sementara kelapa dan kayu makin mahal dan sulit,” ujar seorang produsen tahu yang enggan disebut namanya. Ia mengaku tidak bangga membakar limbah, tapi tanpa itu, produksinya bisa mati.

Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak

Menurut investigasi berbagai organisasi lingkungan, ada puluhan pabrik tahu di kawasan tersebut yang mengandalkan sampah—terutama plastik dan karet—untuk membakar ketel uap dan menggoreng tahu.

Tahu digoreng di wajan-wajan besar dengan bahan bakar dari sampah plastik. Asap hitam dari pembakaran terbuka ini membawa risiko racun bagi lingkungan dan kesehatan warga. Klik gambar untuk menonton videonya. Foto: Tangkapan layar video Youtube /@Andrew_Fraser.

Risiko Dioksin dan Ancaman Senyap bagi Kesehatan

Pembakaran plastik melepaskan zat beracun seperti dioksin, furan, dan logam berat. Senyawa ini bisa menempel di tanah, menyusup ke makanan, dan menumpuk dalam tubuh manusia. Dampaknya? Penyakit paru, gangguan hormon, hingga potensi kanker.

Studi oleh Curtin University mencatat bahwa pembakaran sampah terbuka menyumbang 2–10 persen dari dampak pemanasan global akibat emisi karbon dunia. Lebih parah, racun dari pembakaran ini menyebar jauh—dari dapur kecil desa ke paru-paru warga kota.

Di Indonesia, survei lingkungan menunjukkan jejak dioksin di sekitar lokasi-lokasi pembakaran. Perempuan dan anak-anak, yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menjadi kelompok paling rentan terkena paparan ini.

Di Antara Tuntutan Hidup dan Tanggung Jawab Lingkungan

Para pengrajin tahu sadar akan bahaya ini. “Kami mau berubah, tapi tidak tahu bagaimana. Tidak ada aturan yang jelas, tidak ada dukungan,” ujar produsen lainnya.

Pemerintah disebut hanya memberi peringatan tanpa panduan konkret. Padahal, beberapa pengrajin yang beralih ke kayu menunjukkan hasil lebih bersih, meski membutuhkan investasi awal lebih besar.

“Kalau ada bantuan modal, mungkin kami bisa ubah semuanya,” kata salah satu pemilik pabrik kecil. Tapi tanpa insentif, perubahan terasa jauh. Bagi mereka, ini bukan soal kesadaran, tapi soal bertahan hidup.

Perlu Aksi, Bukan Hanya Viralitas

Kasus di Surabaya hanyalah satu contoh dari banyak cerita serupa di negara-negara berkembang. Urbanisasi cepat, pengelolaan sampah yang lemah, dan lonjakan konsumsi plastik membuat sistem ini semakin rapuh.

Baca juga: Insentif Plastik, Antara Keuntungan Industri dan Kerugian Lingkungan

Menurut proyeksi OECD, penggunaan plastik global akan melonjak tiga kali lipat pada 2060. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan dan infrastruktur yang tepat, pembakaran plastik bisa menjadi norma baru—bukan pengecualian.

Perubahan butuh dorongan dari banyak arah: kebijakan energi terjangkau, sistem insentif produksi bersih, edukasi konsumen, dan tentu, pengawasan lingkungan yang lebih tegas.

Tahu Seharusnya Jadi Makanan Rakyat, Bukan Racun Rakyat

Tahu adalah sumber protein penting di Indonesia. Murah, mudah diakses, dan telah menjadi bagian dari budaya pangan Nusantara. Tapi tanpa intervensi, tahu bisa jadi sumber bahaya yang tak kasat mata.

Para pengrajin di desa-desa sekitar Surabaya tak ingin membuat racun. Mereka ingin bertahan, dan jika mungkin, berkembang. Namun selama sistem masih membiarkan plastik jadi bahan bakar, kita semua ikut membakar masa depan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *