LEBIH dari 140 negara yang berkumpul dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB (COP16) di Roma mencapai kesepakatan penting: mobilisasi dana sebesar 200 miliar dolar AS per tahun hingga 2030 untuk mendukung pendanaan iklim.
Keputusan ini membawa angin segar setelah kegagalan perundingan di Kolombia pada Oktober 2024, yang terhambat oleh ketidaksepakatan mengenai mekanisme kontribusi dan pengelolaan dana.
BRICS Memimpin, Multilateralisme Menang
Kesepakatan ini dipimpin oleh kelompok BRICS—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—yang memainkan peran kunci dalam menengahi konsensus global. Presiden COP16 sekaligus Menteri Lingkungan Hidup Kolombia, Susana Muhamad, menilai pencapaian ini sebagai bukti bahwa multilateralisme masih relevan di tengah ketegangan geopolitik global.
“Dari Cali hingga Roma, kami menyalakan harapan bahwa kepentingan bersama dan perlindungan lingkungan tetap dapat diupayakan, melampaui kepentingan nasional semata,” ujar Susana Muhamad dalam konferensi pers, Sabtu (1/3/2025).
Selain mendanai aksi iklim, para delegasi juga sepakat untuk mengeksplorasi skema pendanaan keanekaragaman hayati yang baru. Wacana ini muncul atas desakan negara-negara berkembang yang menginginkan alokasi dana lebih besar untuk konservasi ekosistem. Beberapa pihak menyarankan bahwa dana yang telah dikelola oleh Global Environment Facility (GEF) mungkin cukup, namun opsi mekanisme baru tetap terbuka.

Peran Penting GEF dan Tantangan Global
Sejak berdiri lebih dari 30 tahun lalu, GEF telah menyalurkan lebih dari 23 miliar dolar AS untuk mendukung ribuan proyek konservasi di berbagai belahan dunia. Kesepakatan COP16 semakin menegaskan pentingnya peran GEF dalam mengelola dana lingkungan global.
“Semua pihak menunjukkan semangat kompromi dan bersedia berkolaborasi. Ini kemenangan besar bagi negara-negara berkembang,” ujar Direktur Departemen Lingkungan di Kementerian Luar Negeri Brasil, Maria Angelica Ikeda.
Baca juga: COP16 Riyadh, Krisis Kekeringan dan Jalan Buntu Negosiasi Global
Namun, tantangan masih membayangi. Laporan Living Planet Report 2024 dari WWF mengungkapkan bahwa populasi satwa liar global telah menurun hingga 73 persen sejak 1970. Tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat akibat perubahan iklim, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam.
Di sisi lain, kebijakan pendanaan iklim juga menghadapi hambatan politis. Amerika Serikat, meskipun bukan penandatangan Konvensi Keanekaragaman Hayati, sebelumnya berkontribusi besar dalam pendanaan konservasi melalui USAID.
Baca juga: Tahun Terpanas, Negosiasi Iklim 2024 Masih Belum Menunjukkan Harapan
Namun, pemangkasan bantuan luar negeri AS telah berdampak luas, termasuk terhentinya sejumlah proyek lingkungan di Indonesia dan negara lain. Frustrasi pun muncul di kalangan negara berkembang yang merasa bahwa negara-negara kaya belum sepenuhnya memenuhi kewajiban mereka.
Harapan untuk Keberlanjutan
Dengan adanya kesepakatan pendanaan di COP16, komunitas global kini memiliki peluang lebih besar untuk menghadapi tantangan iklim dan keanekaragaman hayati secara kolektif. Keputusan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga sinyal bahwa dunia masih bisa bersatu demi keberlanjutan planet ini. Baca juga: Bumi Mengering, Ancaman Kekeringan Permanen Menanti Dunia. Ke depan, tantangan terbesar adalah memastikan implementasi dana ini berjalan efektif dan transparan, serta benar-benar sampai ke proyek-proyek yang membutuhkan. ***
- Foto: Corriere.it