Rekor Energi Bersih Tercapai, tapi Emisi Listrik Dunia Justru Naik

DI TENGAH sorotan dunia terhadap krisis iklim, kabar baik dan buruk datang bersamaan. Untuk pertama kalinya dalam hampir satu abad, sumber energi bersih menyuplai lebih dari 40 persen kebutuhan listrik global. Tonggak ini tercatat dalam laporan lembaga riset energi Ember yang dirilis awal tahun ini.

Namun di sisi lain, catatan gelap menyertai pencapaian tersebut: emisi karbon dari sektor kelistrikan juga mencapai titik tertingginya. Tahun lalu, emisi dari pembangkit listrik menembus angka 14,6 miliar ton karbon dioksida. Ini menjadi alarm keras bagi dunia, terutama bagi negara-negara berkembang yang tengah mengejar ketertinggalan energi dengan cara-cara lama.

Energi Terbarukan Tumbuh, tapi Tak Mampu Kejar Permintaan

Porsi energi bersih memang terus bertambah, tetapi tidak cukup cepat untuk menandingi lonjakan permintaan listrik global. Dalam laporan Ember, lembaga peneliti energi global yang berbasis di Inggris, permintaan energi melonjak tajam di wilayah-wilayah yang terdampak pemanasan global ekstrem.

Baca juga: Finlandia Tutup PLTU Terakhir, Awal Baru Energi Bersih Eropa

Di banyak kota, penggunaan AC meningkat signifikan akibat suhu yang makin tinggi. Akibatnya, pembangkit listrik berbahan bakar fosil—terutama batu bara dan gas alam—kembali jadi andalan.

Hingga kini, batu bara masih menyumbang 34 persen dari total listrik dunia. Gas alam menyusul dengan 22 persen. Gabungan keduanya mendominasi bauran energi global, sekaligus memperbesar jejak karbon dunia.

Indonesia dan Dilema Serupa

Indonesia berada dalam pusaran tantangan serupa. Di satu sisi, pemerintah mendorong energi terbarukan melalui bauran energi nasional. Di sisi lain, PLTU batu bara masih menjadi tulang punggung sistem kelistrikan nasional.

Baca juga: Indonesia Pertimbangkan 29 Lokasi PLTN untuk Energi Bersih

Rencana pensiun dini PLTU yang diinisiasi pemerintah dan didukung lembaga-lembaga keuangan internasional memang patut diapresiasi. Namun, implementasinya masih menghadapi hambatan. Infrastruktur hijau belum cukup kuat, dan investasi energi bersih belum merata.

Turbin angin beroperasi di tengah lanskap alam terbuka. Energi bersih makin diperluas, namun belum cukup menekan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Foto: Pixabay/ Pexels.

Kebutuhan listrik yang meningkat—baik dari sektor rumah tangga, industri, hingga transportasi—memerlukan solusi menyeluruh. Jika tidak, upaya transisi energi bisa terjebak pada ilusi kemajuan.

Transisi tak Sekadar Ganti Teknologi

Transisi energi bukan semata soal mengganti PLTU dengan PLTS atau turbin angin. Ia adalah persoalan struktural yang menyangkut regulasi, insentif, tata kelola, hingga keadilan energi.

Praktisi keberlanjutan menekankan pentingnya pendekatan multidimensi. Termasuk memastikan akses energi bersih yang adil, mempercepat riset teknologi penyimpanan energi, serta memperkuat integrasi sistem kelistrikan berbasis terbarukan.

Baca juga: Pasar Energi Bersih Dunia Tumbuh Pesat, Indonesia Siap?

Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah sisi permintaan. Efisiensi energi dan perubahan perilaku konsumen menjadi kunci. Dunia tidak bisa terus mengandalkan pasokan tanpa menata ulang pola konsumsi.

Perubahan Memang Sedang Terjadi

Pencapaian 40 persen energi bersih adalah sinyal bahwa perubahan memang sedang terjadi. Tapi masih jauh dari cukup. Dunia perlu bergerak lebih cepat—dan lebih cerdas.

Khususnya bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, tantangannya berlapis. Dari kebutuhan pendanaan transisi, ketergantungan pada batu bara, hingga tantangan sosial-ekonomi dalam pengalihan lapangan kerja.

Baca juga: CIF Terbitkan Obligasi Iklim untuk Transisi Energi Bersih

Meski begitu, peluangnya juga besar. Energi surya dan angin terus menjadi lebih murah. Komunitas lokal mulai banyak menginisiasi proyek energi berbasis masyarakat. Anak muda pun semakin vokal memperjuangkan transisi energi yang adil.

Dalam dunia yang makin panas, urgensi untuk bertindak tak bisa ditunda. Laporan Ember bukan hanya statistik tahunan, tetapi pengingat keras: kita tak bisa terus melambat saat planet terus memanas. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *