SAAT angin kencang dan badai datang menghantam pesisir, hutan bakau kerap jadi tameng alami pertama yang diandalkan. Tapi, seberapa besar kemampuan bakau dalam meredam gelombang tinggi?
Jawaban atas pertanyaan ini akhirnya muncul dari kolaborasi ilmuwan Universitas Sun Yat-Sen, Tiongkok, dan Royal Netherlands Institute for Sea Research (NIOZ). Mereka memperkenalkan metode baru bernama HU—cara sederhana untuk mengukur efektivitas hutan bakau dalam melindungi kawasan pesisir.
Tak Perlu Rumus Rumit
Selama ini, penghitungan daya redam hutan bakau terhadap gelombang memerlukan model kompleks dan data yang sulit diakses. Terutama saat cuaca ekstrem terjadi, pengumpulan data justru makin mustahil.
“Banyak metode perhitungan terlalu teknis dan tak ramah pengguna lapangan,” ujar Zhan Hu, peneliti utama, seperti dikutip dari Phys.org.
Baca juga: Mangrove, Penjaga Garis Pantai yang Kian Tergerus
Inilah mengapa HU hadir sebagai solusi. Singkatan dari Height dan Ursell number, metode ini cukup mengandalkan data dasar dari kondisi cuaca tenang. Dengan rumus HU, tinggi gelombang dan sifat nonlinier gelombang bisa dihitung tanpa harus mengukur tiap batang atau akar bakau secara rinci.
Hutan 100 Meter Bisa Redam Setengah Gelombang Badai
Peneliti menemukan bahwa hutan bakau selebar 100 meter dapat mengurangi tinggi gelombang badai hingga 50 persen. Ini bukan angka spekulatif, melainkan hasil dari simulasi dan uji lapangan.
“Hasil ini sangat signifikan, apalagi untuk daerah pemukiman dan infrastruktur penting di belakang hutan bakau,” ujar Tjeerd Bouma dari NIOZ.
Baca juga: Gambut dan Mangrove, Solusi Iklim yang Terlupakan di Asia Tenggara
Dalam studi yang sama, tim membandingkan 20 metode lain yang biasa digunakan untuk mengukur daya hambat vegetasi pesisir. Hasilnya? Sebagian besar gagal memprediksi kinerja bakau dalam kondisi badai. Hanya HU yang terbukti efektif dan dapat direplikasi dengan mudah.

Alat Praktis untuk Pengambil Kebijakan
Manfaat utama dari metode HU terletak pada kesederhanaannya. Tak perlu perangkat mahal atau pelatihan teknis yang rumit. Cukup dengan pengamatan dasar, siapa pun—dari relawan lingkungan hingga pengambil kebijakan—bisa menggunakannya untuk memetakan risiko pesisir.
“Metode ini ibarat kalkulator lapangan untuk perlindungan alami,” kata Bouma. “Dengan pendekatan seperti ini, dunia bisa hemat miliaran dolar dalam proyek perlindungan pantai,” tambahnya.
Baca juga: Mangrove, Solusi Alami Hemat $855 Miliar untuk Banjir
Apalagi di tengah ancaman perubahan iklim, yang membuat badai semakin intens dan permukaan laut terus naik. Strategi defensif berbasis alam seperti ini bisa menjadi senjata utama negara-negara pesisir—termasuk Indonesia—dalam membangun ketahanan.
Lebih dari Sekadar Pelindung
Namun, penting untuk diingat: hutan bakau bukan hanya perisai terhadap gelombang. Mereka juga berperan sebagai penyerap karbon, penyaring air, dan rumah bagi berbagai spesies laut dan burung.
Keanekaragaman manfaat ini membuat perlindungan terhadap hutan bakau menjadi urusan lintas sektor—dari konservasi ke energi, dari tata ruang ke ekonomi biru.
Baca juga: Kolaborasi Baru Indonesia-Norwegia, dari Karbon hingga Mangrove
“Kalau kita bisa mengukur nilainya dengan akurat, kita bisa merencanakan lebih cerdas,” ujar Hu. Ia juga menyebut metode HU akan terus dikembangkan agar bisa diterapkan di berbagai ekosistem, termasuk lamun dan rawa-rawa.
Langkah Maju untuk Pesisir Berkelanjutan
Langkah kecil dalam dunia riset bisa menjadi lompatan besar untuk pengelolaan lingkungan. Metode HU adalah contohnya.
Ia menjembatani sains dan praktik, mempermudah transfer pengetahuan ke tangan mereka yang berjibaku di garis depan: masyarakat pesisir, pemerintah daerah, dan praktisi keberlanjutan.
Dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian iklim, solusi sederhana yang dapat dijalankan secara lokal justru bisa menjadi kunci keselamatan global. ***
- Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.