RUU Masyarakat Adat, Menjemput Keadilan yang Terlupakan

SUDAH lebih dari dua dekade, masyarakat adat menanti kepastian hukum. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang telah diperjuangkan sejak 2003, masih juga belum kunjung disahkan. Padahal, dalam konstitusi, eksistensi mereka telah diakui.

Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menegaskan komitmennya untuk mempercepat proses legislasi ini. Dalam audiensi bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Pigai menyebut tahun 2025 sebagai momen krusial. “RUU ini harus substantif. Isinya harus melindungi, bukan sekadar mencantumkan,” tegasnya di Jakarta, Selasa (6/5).

Hak Konstitusional yang Terlupakan

Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I UUD 1945 menegaskan keberadaan masyarakat adat, lengkap dengan hak atas identitas budaya, wilayah, dan hukum adat. Namun, tanpa undang-undang turunan yang kuat, pengakuan itu hanya tinggal di atas kertas.

Hingga kini, banyak komunitas adat di seluruh Indonesia masih terjebak dalam konflik agraria, kriminalisasi, dan penggusuran. Mereka menghadapi tantangan besar ketika berhadapan dengan investasi skala besar, ekspansi perkebunan, dan tambang yang merambah tanah ulayat mereka.

RUU yang Didambakan, tapi Tak Juga Datang

RUU Masyarakat Adat sebetulnya bukan barang baru. Naskah akademiknya selesai disusun pada 2010. Tapi, proses politik di Senayan membuatnya terus tertunda. Bahkan, setelah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) berulang kali, tak ada jaminan bahwa tahun ini akan menjadi titik terang.

“Undang-undang ini seharusnya menjadi pilar keadilan ekologis,” kata salah satu pegiat di Koalisi Kawal RUU. Mereka merupakan aliansi dari lebih 40 organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat adat.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat, Janji Perlindungan atau Sekadar Ilusi Hukum?

Koalisi ini mendorong pengesahan RUU agar selaras dengan standar internasional hak asasi manusia. Mereka menekankan pentingnya definisi masyarakat adat yang jelas dan inklusif. Selama ini, tidak sedikit komunitas adat yang justru tidak diakui karena tumpang tindih data dan minimnya pemahaman negara tentang keragaman lokal.

Masyarakat adat di pedalaman Indonesia tetap menjaga kearifan lokal dan kelestarian alam. RUU Masyarakat Adat diharapkan memberi kepastian hukum atas eksistensi mereka. Foto: Ilustrasi/ El Jusuf/ Pexels.

Nilai Lokal, Pilar Keberlanjutan

Lebih dari sekadar entitas budaya, masyarakat adat adalah pelindung ekosistem. Hutan adat, sistem pertanian tradisional, dan tata kelola sumber daya berbasis kearifan lokal terbukti mampu menjaga keseimbangan alam. Dalam konteks krisis iklim, mereka bukan hanya korban, tetapi juga penjaga bumi.

Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN), Indonesia memiliki lebih dari 2.000 komunitas adat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mereka tidak hanya menyumbang warisan budaya, tapi juga model-model keberlanjutan berbasis komunitas.

Baca juga: RUU Masyarakat Adat, Jalan Panjang Menuju Pengesahan

Sayangnya, keterlibatan masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan nasional masih minim. “Kehadiran perusahaan tidak boleh menggerus nilai budaya dan tatanan adat yang ada,” ujar Pigai. Ia menyebut pentingnya pendekatan dialogis dan partisipatif saat investasi memasuki wilayah adat.

Langkah Nyata di Depan Mata

Sebagai langkah lanjutan, Kementerian HAM akan menggelar forum diskusi terpumpun (FGD) dengan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat pada awal Juni. Hasilnya akan menjadi dasar untuk menyurati DPR RI dan mendesak pengesahan dalam waktu dekat.

Baca juga: Revisi UU Kehutanan, Ujian Keadilan bagi Masyarakat Adat

RUU ini bukan hanya tentang pengakuan formal, tapi juga perlindungan substansial atas hak tanah, budaya, dan sistem hukum adat. Di era ketika pembangunan sering berbenturan dengan ekologi dan hak masyarakat lokal, regulasi yang adil dan berpihak menjadi kunci keberlanjutan jangka panjang.

Empat Hal Kunci yang Perlu Diatur dalam RUU Masyarakat Adat:

  1. Definisi legal yang inklusif untuk masyarakat adat.
  2. Pengakuan hak atas tanah dan wilayah adat.
  3. Mekanisme penyelesaian konflik agraria.
  4. Perlindungan nilai dan sistem hukum adat dari intervensi eksternal.

RUU Masyarakat Adat adalah ujian serius bagi negara dalam menunaikan janji konstitusi. Jika disahkan, bisa menjadi batu loncatan menuju pembangunan yang lebih adil, lestari, dan berakar kuat pada nilai-nilai lokal. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *