DI TENGAH hiruk-pikuk ekonomi global dan tantangan geopolitik, Jepang kembali mencuri perhatian. Negara matahari terbit ini baru saja meluncurkan strategi ambisius untuk memangkas emisi gas rumah kaca sebesar 73% pada 2040. Langkah ini menjadi babak baru dalam peta jalan energi dan iklim Jepang, yang kini menggabungkan dekarbonisasi dengan pertumbuhan ekonomi.
Menggenggam Masa Depan Hijau
Langit Tokyo terlihat cerah pada Rabu (19/2/2025) pagi, tetapi pesan dari kantor Perdana Menteri Jepang justru lebih cerah lagi. Pemerintah Jepang menetapkan target pengurangan emisi sebesar 60% pada 2035 dan meningkat menjadi 73% pada 2040, dibandingkan level emisi pada 2013.
Target ambisius ini diiringi dengan lonjakan penggunaan energi terbarukan, yang diharapkan mampu menyuplai hingga 50% kebutuhan listrik Jepang pada 2040. Sementara itu, energi nuklir juga akan kembali mendapat tempat, dengan kontribusi yang ditargetkan mencapai 20%.
“Kami ingin memastikan bahwa transisi energi ini tidak hanya mendukung lingkungan tetapi juga memperkuat ekonomi dan keamanan energi nasional,” ujar Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang dalam pernyataan resminya sebagaimana dikutip ESG News.
Rencana yang Lebih dari Sekadar Emisi
Langkah Jepang ini bukan sekadar janji kosong di atas kertas. Pemerintah akan segera mengajukan pembaruan Nationally Determined Contribution (NDC) di bawah Perjanjian Paris. Komitmen ini melengkapi target jangka pendek Jepang untuk memangkas emisi sebesar 46% pada 2030.
Baca juga: Tenggat Waktu Terlewat, Janji Iklim Dunia Masih Tertunda
Namun, di balik angka-angka tersebut, ada dinamika yang menarik. Sebelumnya, lebih dari 80% komentar publik mendorong target yang lebih ambisius. Namun, kementerian terkait memilih mempertahankan target ini setelah melalui diskusi panjang dengan para ahli.
Energi Terbarukan dan Kembalinya Nuklir
Dalam rencana energi terbarunya, Jepang memprioritaskan pengembangan energi terbarukan hingga mencapai setengah dari total produksi listrik nasional pada 2040. Angin, matahari, dan hidro akan menjadi tulang punggung pembangkit energi hijau.
Menariknya, Jepang juga membalikkan komitmen sebelumnya untuk mengurangi ketergantungan pada energi nuklir. Alih-alih meminggirkan, pemerintah justru berencana membangun reaktor generasi baru.
Baca juga: Emisi Karbon di Atmosfer Meningkat Pesat di 2024
“Sejak bencana Fukushima 2011, banyak reaktor nuklir kami belum beroperasi penuh. Pada 2023, kontribusi nuklir hanya sekitar 8,5% dari total pasokan listrik nasional,” jelas seorang pengamat energi di Tokyo.
Langkah ini tentu memicu pro dan kontra. Di satu sisi, energi nuklir dianggap mampu memberikan pasokan listrik yang stabil dan rendah karbon. Namun, di sisi lain, kekhawatiran soal keamanan masih membayangi.
Mengintegrasikan Dekarbonisasi dan Industri
Selain ambisi iklim, Jepang juga memperkenalkan kebijakan baru yang mengintegrasikan upaya dekarbonisasi dengan pengembangan industri. Salah satu inisiatif utama adalah membangun klaster industri di wilayah-wilayah dengan potensi energi terbarukan dan nuklir yang besar.

Wilayah seperti Hokkaido dan Kyushu disebut-sebut sebagai kandidat utama untuk menjadi pusat industri hijau ini. Di sana, pemerintah akan mendorong investasi dan inovasi dalam teknologi rendah karbon, termasuk hidrogen hijau dan penyimpanan energi.
Tantangan di Tengah Ambisi
Meski terlihat menjanjikan, jalan Jepang menuju 2040 tidak sepenuhnya mulus. Sektor angin lepas pantai, misalnya, tengah menghadapi tantangan besar. Tingginya biaya dan tekanan inflasi membuat perusahaan sekelas Mitsubishi Corp. harus meninjau ulang tiga proyek angin lepas pantainya.
Selain itu, ketidakpastian geopolitik global turut memengaruhi langkah Jepang. Kebijakan iklim di negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, bisa berdampak pada perdagangan dan investasi energi terbarukan Jepang.
Baca juga: Kebijakan Emisi Karbon Nol Bakal Bebani Biaya Pangan di Asia Tenggara
“Keputusan Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, yang menarik diri dari Perjanjian Paris telah memberikan dampak panjang bagi upaya ekspansi energi hijau Jepang di pasar internasional,” ungkap seorang analis politik Asia Timur.
Pesan untuk Indonesia, Belajar dari Jepang
Bagi Indonesia, langkah Jepang ini bisa menjadi cermin. Sebagai negara yang juga menghadapi tantangan emisi tinggi dan kebutuhan energi yang besar, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pendekatan Jepang dalam menggabungkan kebijakan iklim dan ekonomi.
Pemerintah Indonesia dapat mengadopsi konsep klaster industri hijau di daerah dengan potensi energi terbarukan, seperti di Nusa Tenggara Timur atau Sulawesi. Selain itu, komitmen Jepang dalam menetapkan target yang jelas dan terukur bisa menjadi inspirasi untuk memperkuat roadmap transisi energi di Tanah Air.
Baca juga: Bursa Karbon, Langkah Strategis Turunkan Emisi di Indonesia
Di tengah berbagai tantangan, Jepang menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekadar slogan, tetapi peta jalan nyata menuju masa depan. Dengan komitmen kuat, strategi matang, dan inovasi berkelanjutan, Jepang tidak hanya berusaha mencapai netral karbon, tetapi juga menjaga pertumbuhan ekonominya tetap stabil.
Bagi para praktisi dan pemerhati isu keberlanjutan di Indonesia, langkah Jepang ini memberikan perspektif baru: bahwa masa depan hijau bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah keharusan. ***
- Foto: AXP Photography/ Pexels.