INDONESIA tengah bersiap melangkah ke fase baru dalam transisi energi hijau. Mulai Januari 2025, pemerintah akan mengimplementasikan program biodiesel B40, campuran bahan bakar nabati (BBN) dengan komposisi 40 persen minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan 60 persen solar.
Langkah ini tidak hanya mencerminkan komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon, tetapi juga menempatkan negara sebagai salah satu pemimpin global dalam energi berkelanjutan.
Dari B35 Menuju B40
Saat ini, Indonesia telah menerapkan biodiesel B35, yakni campuran biodiesel berbasis kelapa sawit sebesar 35 persen. Dengan transisi ke B40, penggunaan CPO untuk biodiesel diperkirakan meningkat hingga 13,9 juta metrik ton pada 2025, naik dari estimasi 11 juta metrik ton yang dibutuhkan tahun ini.
Bagi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, langkah ini adalah kontribusi nyata Indonesia dalam mengurangi jejak karbon global. “Penerapan B40 adalah kontribusi konkret Indonesia untuk dunia,” ujarnya. Ia menambahkan, penggunaan B40 dapat menekan emisi karbon dioksida hingga 40 juta ton.
Baca juga: 15 Proyek Baru SKK Migas untuk Energi Berkelanjutan
Bagi sektor energi nasional, B40 membawa manfaat lain, yakni mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan menghemat devisa.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan, implementasi B40 akan menghemat sekitar Rp 144 triliun per tahun. Bandingkan dengan penghematan Rp 122 triliun dari program B35 pada 2023, jelas bahwa B40 menawarkan nilai tambah ekonomi yang signifikan.
Keuntungan Ekonomi dan Ekologi
Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi unik untuk memanfaatkan kelebihan sumber daya ini. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menyebutkan, peningkatan permintaan minyak sawit untuk biodiesel akan memperkuat posisi Indonesia di pasar global. Namun, manfaat program B40 tidak hanya berhenti pada ekonomi.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, B40 berpotensi mengurangi karbon dioksida hingga 42,5 juta ton pada 2025. Ini jauh lebih besar dibandingkan pengurangan 12,23 juta ton yang dihasilkan oleh B35 pada 2023.
Selain itu, penggunaan biodiesel dalam sektor otomotif dan non-otomotif akan membantu menekan polusi udara, yang menjadi masalah besar di kota-kota besar seperti Jakarta.

Tantangan Keberlanjutan Pasokan CPO
Namun, transisi ke B40 tidak tanpa hambatan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan keberlanjutan pasokan bahan baku, terutama CPO. Meski Indonesia memiliki cadangan besar, peningkatan permintaan dapat memicu kekhawatiran soal ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merusak hutan hujan tropis.
Di sisi lain, biaya produksi biodiesel yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil masih menjadi perhatian. Airlangga memastikan bahwa badan dana minyak kelapa sawit Indonesia siap membiayai selisih harga ini. Namun, keberlanjutan program ini akan sangat bergantung pada stabilitas harga minyak sawit dan minyak mentah dunia.
Baca juga: Kolaborasi Indonesia-AS untuk Transisi Energi Bersih
Selain itu, isu keberlanjutan dalam rantai pasok minyak sawit juga menjadi sorotan. Praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan berpotensi merusak reputasi Indonesia di mata dunia, terutama di tengah kampanye global untuk menghentikan deforestasi.
Peluang untuk Kolaborasi Global
Program B40 menawarkan peluang besar bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dalam inovasi energi berkelanjutan. Namun, keberhasilan implementasi program ini memerlukan sinergi antara pemerintah, industri, dan masyarakat.
Baca juga: Indonesia Menuju Reaktor Nuklir, Energi Bersih Masa Depan
Melalui investasi dalam penelitian dan pengembangan, Indonesia dapat menciptakan teknologi baru yang meningkatkan efisiensi produksi biodiesel sekaligus mengurangi dampak lingkungan. Kolaborasi dengan negara-negara lain juga dapat membantu memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok energi hijau global. ***
- Foto: Instagram/ @sawit.indonesia.