Banjir Menguji Tata Kelola Sawit Indonesia

KELAPA sawit menopang ekonomi Indonesia. Namun di wilayah dengan curah hujan tinggi dan lanskap yang rapuh, konsentrasi lahan justru mengubah sawit menjadi faktor risiko tata air. Di titik ini, banjir tidak lagi bisa dibaca semata sebagai bencana alam, melainkan sebagai ujian tata kelola perkebunan dan wilayah.

Sejak 2006, Indonesia menyalip Malaysia sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia. Produksi terus tumbuh. Ekspor tetap kuat. Tetapi di balik capaian itu, terdapat persoalan struktural yang kerap luput dari perbincangan arus utama. lLebih dari 80 persen kebun sawit nasional terkonsentrasi di Sumatra dan Kalimantan, dua wilayah dengan kerentanan hidrologi tinggi.

Konsentrasi Sawit dan Warisan Kebijakan Lama

Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian mencatat, dari lebih 16 juta hektare kebun sawit Indonesia, porsi terbesar berada di tujuh provinsi di Pulau Sumatra. Riau menjadi provinsi dengan luasan terluas, sekitar 3,41 juta hektare, disusul Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jambi, Aceh, Sumatra Barat, dan Bengkulu.

Baca juga: 3,1 Juta Hektar Sawit Ilegal Direbut Negara, Babak Baru Tata Kelola Lahan

Pola ini bukan terbentuk secara alamiah. Sejak masa kolonial hingga periode pembangunan pasca-Orde Baru, kebijakan perkebunan besar, baik swasta maupun rakyat, lebih banyak diarahkan ke wilayah yang dinilai memiliki kesesuaian lahan dan areal luas. Pendekatan ini berhasil mendorong produksi, tetapi sering mengesampingkan daya dukung lingkungan dan fungsi tata air jangka panjang.

Ketika hujan ekstrem datang, risiko pun terkonsentrasi. Sungai meluap, drainase kewalahan, dan bentang alam kehilangan kemampuan menyerap air. Dalam konteks ini, banjir menjadi cermin dari akumulasi keputusan tata kelola.

Banjir sebagai Alarm Tata Kelola

Pascabanjir di Sumatra Utara, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menyegel area operasional kebun dan pabrik sawit PT Tri Bahtera Srikandi (PT TBS) di Tapanuli Tengah. Penyegelan dilakukan setelah verifikasi lapangan menemukan indikasi praktik pengelolaan lahan yang perlu diklarifikasi.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ SustainReview.

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq menegaskan, langkah tersebut bukan hukuman akhir. Penyegelan diposisikan sebagai alarm awal, untuk memastikan kewajiban lingkungan dipenuhi dan aktivitas usaha tidak memperburuk kondisi hidrologi serta keselamatan masyarakat.

Baca juga: Sawit Ilegal di Kawasan Konservasi, Korporasi Berlindung di Balik Nama Rakyat

Yang menarik, fokus pengawasan tidak berhenti pada dokumen AMDAL. KLH/BPLH menilai langsung praktik konservasi tanah, pengelolaan drainase, hingga upaya mitigasi erosi, komponen teknis yang selama ini sering berada di pinggir pengawasan, tetapi krusial dalam pengendalian banjir.

Pergeseran Paradigma Pengawasan Negara

Kasus PT TBS menandai pergeseran penting dalam cara negara membaca bencana. Operasi perkebunan sawit kini tidak hanya diukur dari kepatuhan administratif atau kontribusi ekonomi, tetapi juga dari dampaknya terhadap tata air lokal dan risiko bencana.

Baca juga: Limbah Sawit Jadi SAF, Tata Kelola Menentukan Arah Indonesia

Bagi pembuat kebijakan, sinyalnya jelas. Di tengah perubahan iklim dan meningkatnya intensitas hujan ekstrem, tata kelola sawit akan semakin dinilai dari kemampuannya menjaga fungsi ekologis lanskap. Bagi pelaku usaha, praktik pengelolaan lahan menjadi faktor penentu keberlanjutan izin dan legitimasi sosial. Sementara bagi investor dan lembaga pembiayaan, risiko hidrologi mulai masuk ke jantung penilaian ESG dan uji tuntas keberlanjutan.

Sawit tetap strategis bagi Indonesia. Namun konsentrasi lahan yang tinggi di wilayah rawan menjadikan industri ini berada di persimpangan penting. Ke depan, ekspansi, pembiayaan, dan izin sawit akan sulit dilepaskan dari penilaian risiko tata air dan keselamatan publik.

Penyegelan pascabanjir di Sumatra Utara bukan akhir cerita, melainkan awal redefinisi keberlanjutan industri sawit Indonesia. ***

  • Foto: Dok. KLH/BPLH – Petugas Kementerian Lingkungan Hidup/BPLH memasang plang pengawasan di area operasional kebun dan pabrik sawit di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, pascabanjir. Langkah ini menjadi bagian dari penguatan pengawasan tata kelola lingkungan di wilayah rawan banjir.
Bagikan