BANJIR besar di Sumatra bukan sekadar peristiwa alam. Itu iadalah stress test kebijakan lingkungan Indonesia. Bukan hanya curah hujan ekstrem yang menjadi penyebab, melainkan hilangnya sistem alarm ekologi yang seharusnya mendeteksi risiko jauh sebelum air meluap ke desa-desa.
Kasus ini memperlihatkan sesuatu yang lebih mengkhawatirkan. Kerusakan hulu dianggap ‘wajar’ sampai bencana datang dan membuka semuanya.
Bencana, Detektor Kebijakan yang Tidak Bekerja
Temuan pemerintah soal lima titik penebangan hutan ilegal dan kayu gelondongan yang hanyut di Sungai Batang Toru menegaskan bahwa bencana berperan sebagai alat deteksi kebijakan, bukan sistem monitoring formal.
Baca juga: Kayu Terapung, Tata Kelola yang Tenggelam di Bencana Sumatra
Dirjen Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, mengungkap kerusakan tutupan hutan di hulu yang mengubah hujan ekstrem menjadi banjir bandang.
“Di mana hulu rusak, risiko di hilir melonjak,” katanya.
Namun pertanyaan kebijakan muncul, mengapa kondisi ini tidak terdeteksi lebih awal?
│ 12 entitas diperiksa
│ Pemerintah memanggil 12 subjek hukum terkait kerusakan tutupan hutan. Indikasi bahwa kontrol baru berjalan setelah krisis.
Audit Perusahaan, Baru Bergerak Saat Desa Sudah Tenggelam
Langkah keras Menteri Lingkungan Hidup/BPLH Hanif Faisol Nurofiq menghentikan operasional tiga perusahaan, PT Agincourt Resources, PTPN III, dan PT North Sumatra Hydro Energy, adalah pesan politik penting.
Namun timing-nya berbicara. Audit ekologi terjadi setelah bencana, bukan sebagai alat mitigasi sebelum krisis.
“Mulai 6 Desember 2025, seluruh kegiatan dihentikan dan wajib audit lingkungan,” tegas Hanif.
Baca juga: Tagihan Ekologis Sumatra Jatuh Tempo, Batang Toru Mengirim Alarm ke Jakarta
Audit ini muncul sebagai respons reaktif, bukan bagian dari sistem alarm dini lanskap.
Helikopter pantau udara digunakan ketika banjir melanda. Padahal lanskap kritis seperti Batang Toru logisnya memiliki pemantauan kontinu.
│ >300 mm/hari curah hujan
│ Intensitas ekstrem bertemu lanskap rapuh tanpa sistem alarm risiko, menciptakan amplifikasi bencana.
Ilmuwan Memperjelas Kegagalan Sistem
Guru Besar IPB, Prof Bambang Hero Saharjo, menegaskan bahwa kayu gelondongan pasca-banjir bukan fenomena alam biasa. Hutan sehat memiliki sistem penyelaras air. Tajuk, akar, vegetasi bawah, dan regenerasi spesies.
Pembalakan liar memutus sistem alami ini. “Kayu besar yang ditemukan adalah konsekuensi kerusakan vegetasi akibat aktivitas manusia,” ungkapnya.
Penjelasan ilmiah ini menguatkan tesis bencana adalah output sistemik, bukan accident.

Celaka, Sistem Alarm Lingkungan Baru Aktif Setelah Krisis
Pengakuan Hanif bahwa selama 14 tahun kementerian tidak memiliki kewenangan pengawasan, membuka jendela utama analisis governance.
Indonesia menjalani satu dekade lebih tanpa instrumen early warning institusional. “Ada jeda panjang. Kontrol hilang,” katanya.
Baca juga: Banjir Sumatra Bongkar Celah Tata Kelola Proyek Energi Hijau
Lebih dari 5 juta unit usaha beroperasi, sementara pejabat pengawas hanya sekitar 3.000.
Artinya, risiko lingkungan yang harusnya dideteksi, ditangani, atau disetop sejak dini luput dari radar.
Kita baru menyadarinya ketika banjir menyapu permukiman.
│ 5 Juta vs 3.000
│ Indonesia punya >5 juta unit usaha, namun hanya ±3.000 pejabat pengawas di seluruh negeri. Definisi sistem alarm yang tak mungkin bekerja.
Banjir Sumatra sebagai Turning Point Tata Kelola
Implikasinya besar. Sumatra 2025 menjadi studi kasus nasional tentang kegagalan mitigasi.
Audit perusahaan, penyegelan titik illegal logging, dan pemanggilan 12 entitas adalah langkah penting. Namun semua itu adalah penanganan setelah krisis, bukan prevention architecture.
Maknanya jelas:
• Indonesia belum memiliki mekanisme risk pre-emption berbasis lanskap kritikal
• perangkat hukum ada, namun tidak bergerak hingga bencana terjadi
• governance respons masih reaktif, bukan proaktif
Narasi ini memaksa evaluasi baru di level struktural:
- desain sistem peringatan risiko ekologis berbasis data
- integrasi pemantauan DAS dengan kebijakan ruang dan perizinan
- penguatan badan pengendali lingkungan sebagai institusi permanen
Seperti disampaikan Hanif, “Penegakan hukum adalah instrumen melindungi masyarakat dari bencana yang bisa dicegah.”
Kalimat itu terdengar seperti refleksi institusional lebih dari sekadar peringatan.
Baca juga: Banjir Bandang Sumatra 2025: Ketika Hulu Runtuh, Hilir Membayar Mahal
Banjir Sumatra membuka fakta telanjang. Bencana berfungsi sebagai alarm, menggantikan sistem peringatan dini yang tidak ada atau tidak bekerja.
Jika audit, pemulihan ekosistem, dan reformasi governance hanya menjadi ritual pasca-krisis, maka kita akan terus menunggu air datang untuk memberi tahu kita bahwa kebijakan gagal.
Sumatra seharusnya bukan tempat belajar setelah bencana, tetapi contoh bagaimana Indonesia membangun sistem alarm lingkungan yang tak lagi menunggu banjir untuk berbunyi. ***
- Foto: Dok. Korem 011/ Lilawangsa – Hamparan lumpur dan reruntuhan di Desa Sarah Raja, Aceh Utara, wilayah terdampak banjir besar di Sumatra, 26 November 2025. Kerentanan ekologis terlihat tanpa tabir. Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Ali Imran menembus wilayah terisolasi ini, menegaskan urgensi kehadiran negara di titik risiko.


