Bencana Ekologis Berulang, Mengapa Pejabat Tak Pernah Dipidana?

Opini: Hamdani S Rukiah, SH, MH *

BANJIR besar yang melanda Jabodetabek, pekan awal Maret 2025, kembali membuka luka lama: buruknya tata ruang dan lemahnya penegakan hukum atas perusakan lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup (KLH) telah menyegel 33 tempat wisata di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung yang diduga memperparah banjir.

KLH juga tengah menyusun gugatan perdata terhadap para pelaku yang dinilai telah mengakibatkan bencana. Namun, satu hal yang jarang terdengar: pejabat yang diseret dalam kasus pidana akibat kebijakan yang berujung pada bencana ekologis.

Mengapa selalu pemilik usaha atau masyarakat yang menjadi sasaran hukum, sementara pejabat yang memberikan izin justru lolos? Padahal, aturan hukum sebenarnya sudah ada.

Regulasi Ada, Tapi Giginya Tumpul?

Secara hukum, pejabat yang terlibat dalam alih fungsi lahan yang melanggar aturan bisa dijerat dengan sejumlah undang-undang. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa setiap perubahan tata ruang yang tidak sesuai dengan rencana detail tata ruang (RDTR) dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahkan lebih tegas, mengatur ancaman pidana bagi siapa pun yang menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya.

Dalam Pasal 98 UU 32/2009, disebutkan bahwa pelaku yang dengan sengaja melakukan perusakan lingkungan hingga mengakibatkan bencana bisa dipidana hingga 15 tahun penjara dan denda Rp15 miliar.

Namun, implementasinya lemah. Alih-alih menyeret pejabat yang lalai atau memberi izin serampangan, penegakan hukum lebih sering menyasar korporasi atau pelaku di lapangan. Padahal, pejabat yang mengeluarkan izin tanpa kajian lingkungan yang memadai juga seharusnya bertanggung jawab.

Yurisprudensi: Pejabat Bisa Dipidana!

Banyak yang menganggap pejabat kebal hukum dalam kasus lingkungan. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Salah satu contoh yurisprudensi yang bisa menjadi acuan adalah kasus eks Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, yang pada tahun 2022 divonis 7 tahun penjara karena terbukti menerima suap dalam penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) apartemen yang tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang. Kasus ini menunjukkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dalam penerbitan izin bisa dijerat pidana.

Foto: Ilustrasi/ Katrin Bolovsova/ Pexels.

Yurisprudensi ini menunjukkan bahwa jerat pidana terhadap pejabat bukanlah hal yang mustahil. Hanya saja, keberanian aparat penegak hukum untuk membawa mereka ke meja hijau masih minim.

Kasus DAS Ciliwung, Gugatan Perdata Saja Tidak Cukup

Menteri KLH Hanif Faisol Nurofiq sudah mengambil langkah dengan menyusun gugatan perdata terhadap pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas banjir Jabodetabek. Namun, jika hanya gugatan perdata, efek jera tidak akan maksimal. Gugatan perdata hanya berujung pada ganti rugi, tanpa memberikan sanksi tegas terhadap pejabat yang mengeluarkan izin secara serampangan.

Padahal, banjir bukan sekadar bencana alam. Ia adalah bencana ekologis yang dihasilkan dari kebijakan yang buruk. Jika pejabat tetap dibiarkan lolos dari jerat hukum, pola ini akan terus berulang.

Saatnya Mengubah Paradigma Hukum Lingkungan

Sudah waktunya hukum lingkungan di Indonesia tidak hanya menyasar masyarakat atau pengusaha, tetapi juga pejabat yang lalai. Beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Penegakan UU Lingkungan yang Lebih Tegas – Tidak cukup hanya gugatan perdata, jerat pidana harus diterapkan untuk menciptakan efek jera.
  2. Penyelidikan Independen – KPK atau lembaga independen lainnya harus mulai menelusuri keterlibatan pejabat dalam kasus bencana ekologis.
  3. Penguatan Peran Masyarakat dan Media – Tekanan publik dan investigasi jurnalistik bisa menjadi alat untuk mendorong penegakan hukum yang lebih tegas.
  4. Reformasi Tata Kelola Izin Lingkungan – Setiap izin harus didasarkan pada kajian lingkungan yang transparan dan tidak bisa diubah sembarangan.

Pejabat Harus Bisa Dipidana

Jika banjir terus terjadi dan pejabat tetap lolos dari jerat pidana, maka hukum lingkungan kita hanya menjadi macan kertas. Sudah saatnya paradigma berubah: pejabat yang lalai dalam mengelola tata ruang dan lingkungan harus bisa dipidana. Hanya dengan begitu, kita bisa berharap ada perbaikan nyata dalam tata kelola lingkungan di Indonesia. ***

  • Pemerhati Keadilan Sosial, Hukum Bisnis, dan Hukum Lingkungan lulusan Magister Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *