INDONESIA terus melangkah maju dalam upayanya mengurangi ketergantungan terhadap impor solar. Tahun 2025 menjadi tonggak penting dengan dimulainya penerapan biodiesel 40 persen (B40), sementara persiapan menuju implementasi B50 pada 2026 tengah dilakukan. Langkah ini tidak hanya bertujuan menciptakan kemandirian energi, tetapi juga menjadi bagian dari visi keberlanjutan nasional.
Mengurangi Ketergantungan Impor Solar
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam konferensi pers di Jakarta, menegaskan bahwa implementasi B40 akan dimulai penuh pada Februari 2025 setelah masa transisi. Ini adalah langkah strategis untuk mewujudkan arahan Presiden Prabowo Subianto guna menciptakan kedaulatan energi. “Dengan implementasi B50 pada 2026, Insya Allah impor solar dapat dihentikan sepenuhnya,” ujar Bahlil optimistis.
Langkah ini juga selaras dengan peningkatan cadangan energi nasional. Dengan produksi biodiesel tahap awal sebesar 15,6 juta kiloliter, kebijakan ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan energi domestik. Sekaligus mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi bahan bakar fosil.
Teknologi dan Infrastruktur Mendukung
Penerapan B40 membutuhkan kesiapan infrastruktur dan teknologi. PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilang utama—Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua—untuk mendukung produksi biodiesel. Proses pencampuran bahan bakar solar dengan biodiesel dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Baca juga: B40, Langkah Besar Indonesia Menuju Energi Hijau 2025
Selain itu, masa transisi yang berlangsung hingga Februari 2025 memberikan waktu bagi industri untuk menyesuaikan teknologi dan menghabiskan stok bahan bakar sebelumnya. “Ada proses penyesuaian teknologi dari B35 ke B40, sehingga masa transisi 1,5 bulan sangat diperlukan,” ujar Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung.

Biodiesel, Inovasi yang Selaras dengan Keberlanjutan
Implementasi B40 dan B50 tidak hanya soal kemandirian energi, tetapi juga langkah penting menuju keberlanjutan. Penggunaan biodiesel berbasis bahan bakar nabati berkontribusi pada pengurangan emisi karbon, mendukung praktik agrikultur yang lebih hijau, serta meningkatkan nilai tambah bagi industri sawit nasional.
Baca juga: Kolaborasi Indonesia-AS untuk Transisi Energi Bersih
Indonesia, sebagai salah satu produsen sawit terbesar dunia, memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya alam ini secara optimal. Dengan meningkatkan kapasitas produksi dan efisiensi distribusi, biodiesel bisa menjadi solusi energi terbarukan yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, tantangan tetap ada. Regulasi yang kokoh, pengawasan yang ketat terhadap standar kualitas biodiesel, serta komitmen semua pihak—dari pemerintah hingga pelaku industri—menjadi kunci keberhasilan program ini.
Masa Depan Energi Indonesia
Visi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor energi menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menciptakan ketahanan energi nasional. Selain itu, kebijakan ini memberikan dampak positif bagi lingkungan, mengurangi jejak karbon, serta mendorong inovasi dalam sektor energi terbarukan.
Baca juga: Indonesia Menuju Reaktor Nuklir, Energi Bersih Masa Depan
Dengan penerapan B40 pada 2025 dan persiapan matang menuju B50 di tahun berikutnya, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menjadi negara dengan sistem energi yang lebih mandiri, efisien, dan berkelanjutan.
Langkah ini juga membuka peluang bagi para pelaku industri, akademisi, dan pemerhati lingkungan untuk ikut berkontribusi. Transformasi energi tidak hanya tentang pemerintah, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dan dunia usaha dapat bersinergi dalam menghadapi tantangan global terkait perubahan iklim dan kebutuhan energi masa depan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Engin Akyurt/ Pexels.