Dari Kokok Ayam, Hukum Menjadi Alat Keberlanjutan Sosial

KETIKA seekor ayam jantan “diseret” ke pengadilan karena suara kokoknya dianggap mengganggu, banyak yang menganggapnya sebagai anekdot khas pedesaan Prancis. Tapi siapa sangka, gugatan terhadap suara ayam itu justru memicu perdebatan serius tentang batas-batas hukum, hak hidup alami, dan makna keberlanjutan.

Kasus bermula di sebuah desa kecil di Prancis, ketika pasangan pensiunan yang baru pindah menggugat pemilik ayam jantan karena suara kokoknya dianggap terlalu bising. Dalam sidang, yang jadi terdakwa bukan hanya sang ayam, tetapi juga tradisi dan suasana khas pedesaan. Mulai dari kokok ayam, lonceng sapi, hingga suara traktor.

Baca juga: Kokok Ayam Diseret ke Pengadilan, Ending-nya Jadi Undang-Undang

Publik merespons dengan kuat. Banyak yang menganggap gugatan ini sebagai ancaman terhadap identitas pedesaan yang selama ini terjaga secara organik. Protes bermunculan, hingga akhirnya Parlemen Prancis turun tangan. Hasilnya? Sebuah undang-undang baru lahir, melindungi “suara-suara alam” pedesaan sebagai bagian dari warisan hidup yang tak ternilai.

Dari desa kecil di Prancis, seekor ayam jago memicu gugatan hukum yang membuka diskusi global tentang bagaimana hukum mendukung keberlanjutan budaya lokal. Foto: Ilustrasi/ Alex P/ Pexels.

Hukum yang Berpihak pada Keberlanjutan

Kasus ini membuka diskusi menarik, bisakah hukum berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan budaya dan lingkungan? Undang-undang tersebut menjadi preseden bahwa hukum tak melulu bersifat represif, tetapi juga bisa mengafirmasi keseimbangan ekologis dan sosial.

Baca juga; RUU Masyarakat Adat, Menjemput Keadilan yang Terlupakan

Melindungi suara ayam atau gemericik sungai bukan sekadar soal romantisme rural. Itu adalah pengakuan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal karbon dan energi, tapi juga soal melestarikan lanskap suara, ritme hidup, dan relasi ekologis manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Menuju Green Legal Reform

Kisah ini jadi pengingat penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dalam era di mana pembangunan sering mengabaikan ruang hidup tradisional, hukum perlu lebih progresif menjadi penjaga harmoni ekologis, pelindung suara-suara kecil yang menjadi fondasi keberlanjutan.

Karena mungkin, seperti kokok ayam di pagi hari, keberlanjutan kadang datang dari hal-hal sederhana yang dulu dianggap biasa, hingga tiba-tiba diancam hilang. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *