Homesteading, Hidup Mandiri di Tengah Modernisasi

DI TENGAH kemajuan teknologi dan urbanisasi, muncul fenomena menarik: semakin banyak orang memilih hidup mandiri dengan menanam sendiri makanan. Mereka juga memelihara hewan, dan mengelola energi mereka secara mandiri.

Tren ini disebut homesteading atau gaya hidup homestead, sebuah pendekatan yang menarik perhatian publik dari berbagai kalangan dan usia. Fenomena ini, yang kini berkembang pesat di berbagai belahan dunia, dipandang sebagai cara untuk kembali ke alam. sekaligus meraih kemandirian dalam kebutuhan sehari-hari.

Menurut studi yang dipublikasikan Sustainable Agriculture Research & Education (SARE), homesteading menjadi pilihan hidup bagi mereka yang ingin hidup lebih dekat dengan alam. Sekaligus berusaha memenuhi kebutuhan mereka tanpa terlalu bergantung pada pasar komersial.

Homesteading adalah cara untuk meminimalisir jejak karbon dan lebih menyatu dengan ekosistem sekitar,” ungkap SARE dalam laporannya.

Baca juga: Limbah Makanan Bergizi untuk Pupuk Ramah Lingkungan

Di Amerika Serikat dan Eropa, gaya hidup ini mulai populer sejak pandemi COVID-19. Pandemi meningkatkan kesadaran akan pentingnya ketahanan pangan lokal.

Kemandirian Lewat Pertanian dan Peternakan Skala Kecil

Salah satu ciri utama homesteading adalah pertanian mandiri di lahan terbatas, bahkan hanya di pekarangan rumah.

Melansir dari The Homesteading Institute, “homesteader” sering kali menanam berbagai sayuran, rempah, dan buah secara organik untuk konsumsi pribadi. Sekaligus menjaga kualitas tanah dan lingkungan. Selain itu, banyak homesteader juga memelihara hewan ternak skala kecil. Di antaranya ayam, bebek, atau kambing, yang memberikan pasokan telur, susu, atau daging.

Baca juga: Krisis Air Global, Ancaman Nyata yang Harus Ditangani Segera

Berdasarkan survei National Sustainable Agriculture Coalition (NSAC), sebanyak 60% homesteader di AS mengakui bahwa kegiatan berkebun dan memelihara hewan tidak hanya membantu mereka memenuhi kebutuhan protein secara mandiri. Tetapi, juga mengurangi ketergantungan terhadap pangan komersial.

Dengan demikian, homesteading menjadi solusi praktis untuk mendukung gaya hidup sehat dan ramah lingkungan.

Mengolah Hasil Panen dan Meminimalisir Limbah

Selain menanam dan memelihara hewan, homesteading juga menekankan pengolahan bahan pangan. Berdasarkan laporan Homestead Living, para pelaku gaya hidup ini biasanya mengolah hasil panen menjadi produk seperti selai, acar, atau makanan fermentasi yang dapat disimpan lebih lama.

Hal ini berguna untuk memastikan ketersediaan pangan di rumah, sekaligus mengurangi pemborosan makanan.

Baca juga: Setiap WNI Sumbang 115-180 Kg Limbah Makanan Setiap Tahun

Di Jepang, homesteading bahkan menjadi gerakan budaya. Menurut Japan Organic Agriculture Association, semakin banyak keluarga yang beralih mengolah bahan pangan lokal di rumah karena dianggap lebih sehat dan mengurangi limbah kemasan dari supermarket.

Homesteading dengan ayam petelur: Membangun ketahanan pangan dari rumah sendiri. Foto: Cottonbro Studio/ Pexels.

Energi Terbarukan dan Pengelolaan Lingkungan

Tidak hanya soal pangan, homesteading juga mencakup pemanfaatan energi terbarukan. Laporan Renewable Energy World menyebutkan, sebagian homesteader di Amerika Utara telah beralih ke penggunaan panel surya dan turbin angin skala kecil untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka. Dengan cara ini, mereka bisa mengurangi jejak karbon sekaligus menghemat pengeluaran bulanan.

Di Indonesia, praktik ini juga mulai diadopsi, terutama di wilayah pedesaan. Menurut berbagai lansiran media, penggunaan energi terbarukan untuk rumah tangga di Indonesia mencapai hingga 13,9% sejak 2020. Memang angka ini masih di bawah target, yakni 17, 87%.

Baca juga: EBT Kunci Investasi di Indonesia

Homesteading mendorong orang untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan,” ungkap perwakilan kementerian dalam laporannya.

Siapa pun Bisa Lakukan Homesteading

Meski menarik, homesteading bukan tanpa tantangan. Menurut ahli ekologi dari Center for Food Safety, keterbatasan lahan dan biaya awal untuk membeli peralatan seperti panel surya atau alat pengolahan makanan menjadi kendala utama bagi banyak orang yang ingin memulai homesteading.

Namun, dengan semakin banyaknya komunitas dan kursus daring tentang homesteading, masyarakat kini memiliki akses lebih mudah untuk belajar dan berbagi pengalaman.

Baca juga: Krisis Air Global, Ancaman Nyata yang Harus Ditangani Segera

Para homesteader juga kerap berbagi praktik terbaik melalui media sosial dan blog. Sehingga makin banyak orang dapat memahami manfaat gaya hidup ini. Berdasarkan data dari Global Homesteading Network, topik-topik seperti pertanian organik di rumah dan peternakan kecil mengalami lonjakan pencarian hingga 150% selama beberapa tahun terakhir.

Homesteading kini dipandang bukan hanya sebagai gaya hidup. Tetapi, juga sebagai respons terhadap tantangan modern, seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, dan krisis energi. Semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa dengan mengelola kebutuhan pangan dan energi secara mandiri, mereka bisa memiliki kendali lebih besar atas hidup mereka di masa depan.

Baca juga: Circular Fashion: Gaya Keren Tanpa Limbah, Mungkinkah?

Homesteading tidak hanya soal hidup sederhana, tetapi juga soal mempersiapkan masa depan yang lebih berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Homestead Journal juga mencatat bahwa homesteading dapat menjadi solusi yang inklusif, bahkan di perkotaan, dengan adaptasi yang tepat. “Homesteading bisa dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, selama ada kemauan untuk belajar dan mencintai alam,” tulis jurnal tersebut.

Di Indonesia, tren ini berpotensi berkembang seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya kemandirian dan keberlanjutan di tengah tantangan global yang kian nyata. ***

Foto: Kampus Production/ Pexels Memetik hasil kebun sendiri, bagian dari gaya hidup mandiri yang dian diminati.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *