INDONESIA sedang mencari model reforestasi yang cepat, murah, dan adaptif. Sementara itu, Jepang sudah membuktikan bahwa hutan tidak selalu membutuhkan ratusan tahun untuk matang. Metode Miyawaki, lahir di Yokohama pada 1970-an, kini menjadi rujukan global untuk membangun hutan klimaks dalam hitungan dekade. Pertanyaannya, bisakah Indonesia mengadopsinya sebagai strategi baru rehabilitasi ekologis?
Bencana banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan betapa mahalnya menunggu hutan pulih alami. Lereng runtuh, bantaran sungai kosong, dan desa kehilangan penahan air. Sementara reforestasi tradisional butuh puluhan tahun.
Teknik yang Mengganggu Status Quo
Konsep Miyawaki sederhana, tetapi mengganggu paradigma lama. Pohon lokal dipilih secara beragam, 10 hingga 30 spesies, ditanam padat dan acak. Tiga bibit per meter persegi, dimulsa tebal, disiram intensif dalam tiga tahun pertama. Setelah itu, sistem ekologinya mandiri. Akar dangkal, akar dalam, kanopi rapat, dan kompetisi sehat menghasilkan hutan mini berstruktur matang. Di Jepang, ruang hijau ini terbukti menstabilkan tanah dan menahan limpasan air.
Baca juga: Kayu Terapung, Tata Kelola yang Tenggelam di Bencana Sumatra
Di Inggris, laporan Tree Council 2023 menyebutkan hutan Miyawaki tumbuh lebih cepat, menyimpan keanekaragaman hayati lebih tinggi, dan memerlukan biaya lebih rendah dibanding metode konvensional berbasis monokultur.
Momentum Indonesia, dari Kota Panas hingga Lereng Rawan
Indonesia menghadapi urgensi ekologi. Banjir Sumatra 2025, longsor Puncak hingga Tapanuli, dan hancurnya sempadan sungai di Aceh membuka pertanyaan besar. Reforestasi kita lambat, mahal, dan sering gagal karena tata kelola rapuh. Restorasi DAS dan penanaman ulang pascabencana sering berhenti pada seremoni, sementara lereng terus runtuh.
Baca juga: Tagihan Ekologis Sumatra Jatuh Tempo, Batang Toru Mengirim Alarm ke Jakarta
Di titik ini, Miyawaki memberi model alternatif, terutama bagi daerah rawan seperti Sumatra, yang butuh pemulihan lebih cepat dari siklus ekologis normal.

Bayangkan IKN sebagai laboratorium Miyawaki. Kota baru itu menargetkan 30 persen ruang hijau inti dan pemulihan ekoregion Kalimantan Timur. Hutan mini Miyawaki dapat menjadi penyangga panas kota, retensi air hujan, hingga buffer ekologis antara infrastruktur dan hutan alam.
Bahkan, dengan governance yang tepat, kawasan industri tambang dan perkebunan dapat memanfaatkan model ini sebagai bagian dari komitmen ESG nature-positive.
Kabar baiknya, Indonesia tidak mulai dari nol. Tradisi ekologis Nusantara, seperti talun Sunda, repong damar Lampung, kebun campuran Dayak, secara prinsip mendekati konsep Miyawaki. Bedanya, Jepang menyusunnya sebagai standar teknis, dengan desain, pemantauan, dan target ekologis terukur.
Agenda Kebijakan dan Reformasi Tata Kelola
Namun, adopsi Miyawaki di Indonesia menghadapi hambatan tata kelola. Pertama, regulasi masih bias monokultur, terutama dalam skema rehabilitasi hutan dan reklamasi tambang. Kedua, urban planning belum menjadikan hutan mini sebagai elemen wajib. Ketiga, defisit kelembagaan untuk merawat tiga tahun awal, fase kritis metode ini.
Baca juga: Reforestasi 12,7 Juta Hektar Hutan Indonesia Memikat Dunia
Karena itu, jendela peluangnya berada pada pemerintah daerah, sektor swasta ESG, dan komunitas perkotaan. Kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, sampai Makassar dapat menjadikan Miyawaki sebagai model pendingin mikro dan penyerap limpasan air.

Aceh dan Sumatra Utara bisa menggunakannya untuk memperkuat lereng dan buffer sungai pasca banjir bandang. Sementara IKN dan kawasan tambang dapat mempercepat pemulihan ekologisnya tanpa menunggu satu generasi.
Metode Miyawaki bukan solusi tunggal. Ini tidak menggantikan restorasi bentang alam, tata ruang berbasis risiko, atau penegakan hukum lingkungan yang lemah. Namun metode ini menawarkan kecepatan dan efektivitas, dua hal yang paling defisit dalam kebijakan lingkungan Indonesia hari ini.
Baca juga: Menyelamatkan Paru-paru Dunia, Pelajaran dari Johan Eliasch untuk Kebijakan Hutan Indonesia
Pada akhirnya, jika Indonesia ingin memulihkan hutan yang hilang dan mencegah bencana berulang, maka pilihan sederhana muncul, apakah kita berani bertaruh pada inovasi ekologi yang sudah bekerja di tempat lain? Miyawaki memberi jawaban kecil, tetapi relevan, terutama ketika waktu menjadi musuh terbesar ekosistem kita. ***
- Foto: treetalk.substack – Kawasan kampus Universitas Yokohama, Jepang, dengan hutan Miyawaki yang ditanam sejak 1976 dan kini tumbuh membentuk dinding hijau perkotaan.


