DI TENGAH ancaman perubahan iklim yang kian nyata, Indonesia justru muncul sebagai salah satu negara paling optimis dalam menghadapi tantangan ini. Hasil riset terbaru yang dilakukan oleh Aarhus University, Denmark, dan International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), Austria, menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam 12 negara dengan tingkat optimisme tertinggi terhadap perubahan iklim.
Selain Indonesia, negara lain yang masuk dalam kategori ini adalah Nigeria, Kenya, India, dan satu-satunya negara maju dalam daftar tersebut, Amerika Serikat. Survei yang melibatkan 30.000 responden dari 30 negara ini memetakan lima emosi utama masyarakat terhadap perubahan iklim: ketakutan, harapan, kemarahan, kesedihan, dan kekhawatiran. Hasilnya menunjukkan bahwa warga negara berkembang di Global South cenderung lebih optimis dibandingkan negara maju di Eropa.
Optimisme di Tengah Krisis
Meskipun Indonesia termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim—mulai dari kenaikan permukaan air laut hingga cuaca ekstrem—masyarakatnya tetap memiliki tingkat harapan yang tinggi. Faktor ini, menurut peneliti, berkaitan dengan keyakinan bahwa inovasi teknologi dan kebijakan yang tepat dapat mengatasi krisis iklim.
Sementara negara-negara di Eropa, seperti Jerman, Austria, dan Swedia, cenderung lebih pesimistis, optimisme di Indonesia sejalan dengan negara-negara Global South lainnya yang mengalami dampak perubahan iklim secara langsung.
Baca juga: Perubahan Iklim, Ancaman Besar bagi Ekonomi 2025
Peneliti menemukan bahwa harapan menjadi faktor utama dalam mendorong dukungan terhadap berbagai teknologi intervensi iklim, seperti modifikasi radiasi matahari (solar radiation modification/SRM) dan teknologi penghilangan karbon dioksida (carbon dioxide removal/CDR).
Emosi dan Dukungan terhadap Teknologi Iklim
Riset ini juga mengungkap bahwa hubungan emosional seseorang terhadap perubahan iklim berpengaruh pada tingkat dukungan mereka terhadap teknologi mitigasi. Harapan dan kekhawatiran menjadi dua faktor utama yang meningkatkan penerimaan terhadap teknologi seperti afforestation, penangkapan karbon langsung dari udara (direct air capture), dan injeksi aerosol stratosfer.

Ketakutan juga mendorong dukungan terhadap intervensi iklim, meskipun pengaruhnya lebih kecil dibandingkan harapan atau kekhawatiran. Menurut Asisten Profesor di Aarhus University sekaligus penulis utama studi ini, Chad M. Baum, keinginan untuk perlindungan turut mendorong penerimaan terhadap solusi iklim yang lebih kontroversial.
Implikasi bagi Indonesia
Optimisme yang tinggi di Indonesia menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, keyakinan terhadap solusi iklim dapat menjadi katalis bagi percepatan transisi energi dan kebijakan hijau. Di sisi lain, tanpa implementasi nyata yang kuat, optimisme ini bisa berubah menjadi sikap pasif yang menghambat aksi nyata.
Indonesia telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai inisiatif, seperti target net zero emission 2060 dan pengembangan energi terbarukan. Namun, tantangan seperti ketergantungan pada batu bara, deforestasi, dan polusi udara masih menjadi isu utama yang perlu diatasi.
Baca juga: Kelangkaan Air dan Perubahan Iklim, Bom Waktu bagi Dunia
Baum menekankan bahwa perspektif negara-negara Global South harus lebih diperhitungkan dalam diskusi global tentang perubahan iklim. “Hasil kami mengilustrasikan perbedaan emosi iklim di tingkat global serta, yang lebih penting, konsekuensi dari mengabaikan perspektif beragam negara Global South dalam menghadapi perubahan iklim dan solusi yang diusulkan,” ujarnya.
Baca juga: Kerugian Ekonomi Akibat Perubahan Iklim, Ancaman Nyata bagi Indonesia
Studi ini menegaskan bahwa perubahan iklim bukan hanya tantangan ilmiah dan teknis, tetapi juga persoalan psikologis dan sosial. Optimisme Indonesia bisa menjadi kekuatan besar dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan, asalkan diiringi dengan kebijakan dan aksi nyata yang sesuai. Dengan meningkatnya kesadaran dan dukungan terhadap inovasi teknologi, Indonesia berpeluang menjadi pemimpin dalam solusi iklim di kawasan Asia Tenggara. ***
- Foto: Ilustrasi/ Cup of Couple/ Pexels.