DI TENGAH upaya global menghadapi krisis iklim, Indonesia terus bergerak maju dengan berbagai inisiatif keberlanjutan. Salah satunya adalah penjajakan kerja sama antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Universitas Nottingham, Inggris, untuk mendalami riset penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage/CCS). Langkah ini bertujuan memperkuat landasan kebijakan sekaligus memanfaatkan potensi besar Indonesia di sektor keberlanjutan.
Regulasi sebagai Fondasi Awal
Indonesia telah menerbitkan berbagai aturan strategis untuk mendukung implementasi CCS. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 dan Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023 menjadi dasar hukum yang memungkinkan CCS diterapkan dalam industri hulu migas.
Selain itu, Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon serta Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 yang mengatur perdagangan karbon melalui IDXCarbon. Ini semakin menegaskan komitmen pemerintah dalam pengelolaan karbon berbasis pasar.
Baca juga: Indonesia, Pemain Kunci di Pasar Karbon Dunia
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebutkan bahwa regulasi ini baru langkah awal. “Kita butuh riset yang lebih mendalam untuk kemudian itu bisa dipraktikkan di Indonesia,” ungkapnya, Selasa (31/12).
Kolaborasi Internasional untuk Solusi Lokal
Kerja sama ini melibatkan akademisi Universitas Nottingham, termasuk Bagus Muljadi, yang menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menghasilkan kebijakan berbasis data. Salah satu fokusnya adalah memastikan bahwa komoditas Indonesia yang diperdagangkan, terutama ke Eropa, tidak melanggar regulasi lingkungan seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Baca juga: IDXCarbon, Indonesia Perdagangkan 906.000 Ton Karbon di 2024
“Potensi kerja sama ini mencakup joint research dengan BRIN dan capacity building untuk memperkuat kemampuan pemangku kebijakan Indonesia dalam menyusun kebijakan yang sesuai dengan EUDR,” jelas Bagus.

Membuka Peluang Penelitian di Wilayah Kunci
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan cadangan lahan gambut terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam penelitian CCS. Lahan gambut tidak hanya berperan sebagai penyimpan karbon alami, tetapi juga menjadi kunci dalam mitigasi perubahan iklim.
Baca juga: Pasar Karbon, Kunci Pendapatan Besar Negara yang Terabaikan
Bagus menyoroti, kerja sama ini dapat mencakup penelitian di berbagai daerah yang memiliki tantangan dan karakteristik unik. Misalnya, wilayah Kalimantan dengan ekosistem gambutnya yang luas, atau ladang migas dan geothermal di daerah lainnya. “Jika penelitian dilakukan sesuai persoalan lokal, hasilnya bisa langsung memberikan solusi yang relevan,” tambahnya.
Dampak Nyata untuk Masyarakat
Kolaborasi riset ini diharapkan mampu memberikan dampak langsung bagi masyarakat Indonesia. Selain mendukung kebijakan yang lebih baik, hasil penelitian dapat digunakan untuk mendorong praktik bisnis berkelanjutan yang lebih adil dan ramah lingkungan. Dalam jangka panjang, ini juga dapat meningkatkan posisi Indonesia di mata dunia sebagai salah satu negara yang serius menangani isu keberlanjutan.
Baca juga: Mempercepat Ekonomi Karbon, Langkah Strategis Keberlanjutan Indonesia
Dengan adanya kerja sama ini, peluang pengembangan inovasi teknologi CCS semakin terbuka lebar. Selain itu, Indonesia dapat memimpin dalam menciptakan solusi yang tidak hanya bermanfaat secara lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang signifikan.
Penjajakan kerja sama antara Kemenhut dan Universitas Nottingham mencerminkan semangat Indonesia untuk terus berinovasi dan beradaptasi di tengah perubahan global. Dengan dukungan regulasi yang kuat, kolaborasi lintas sektor, dan fokus pada solusi lokal, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menjadi pemimpin dalam pengelolaan karbon dan keberlanjutan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.