KETIKA sebagian besar orang kesal melihat tumpukan limbah rumah tangga, Kurniati Rachel Sugihrehardja justru melihat peluang. Keresahannya bermula dari limbah karton susu yang tak laku dipungut pemulung. Kini, keresahan itu menjelma menjadi Popsiklus, sebuah brand upcycling yang konsisten menyulap sampah menjadi produk fungsional dan estetis.
Popsiklus bukan sekadar menjual tas dari bahan tak terpakai. Popsiklus adalah pernyataan sikap terhadap masalah limbah dan desain yang bertanggung jawab. Setiap potongan karton susu, yang seharusnya berakhir di tempat sampah, disulap menjadi dompet, tas, hingga aksesori modular. Semua dilakukan dengan prinsip utama, reimagining waste.
Desain Responsif dan Minim Sampah
“Kita nggak bisa desain produk dulu, baru cari bahan. Kita harus mulai dari bahan yang tersedia, karena limbah itu tanggung jawab kita juga,” ujar Nia dalam percakapan dengan SustainReview, di ajang Local Market ID Cipete, Jakarta, akhir pekan ini.
Baca juga: Plana, Inovasi Ramah Lingkungan dari Sampah Plastik dan Gabah Padi
Sikap ini menjadikan Popsiklus unik. Inovasi tak lahir dari tren, melainkan dari tantangan nyata. Contohnya, desain Milk Carton Modular Bag yang bisa dilepas-pasang. Ide itu muncul bukan dari inspirasi fesyen, melainkan dari kebutuhan efisiensi pengiriman ke Jepang. Ongkos kirim berbasis volume mendorong desain yang bisa dilipat dan dirakit ulang.

Pendekatan adaptif ini turut memengaruhi strategi bisnis Popsiklus. “Bisnis berbasis limbah nggak bisa punya rencana terlalu panjang. Ketersediaan bahan baku, limbah, nggak bisa kita kendalikan,” tambahnya. Bahkan, Nia menyadari bahwa cita-cita ideal Popsiklus adalah berhenti, kalau limbah karton susu sudah tak ada lagi.
Pasar yang Makin Terbuka
Dulu, konsumen hanya tertarik pada keunikan desain handmade. Kini, makin banyak yang membeli karena menyadari dampak lingkungan. Pasar Indonesia mulai berubah. Dari yang skeptis terhadap produk daur ulang, menjadi lebih menghargai kreativitas dalam mengelola limbah.
Baca juga: Lilin Ramah Lingkungan Karya Anak Bangsa, Laris di Luar Negeri
Namun, ekspektasi konsumen juga meningkat. Banyak yang berharap seluruh proses pengiriman Popsiklus bebas sampah, padahal realitasnya tak semudah itu. “Kalau lakban diganti kertas, lebih ramah lingkungan, tapi mudah robek. Ekspedisi juga belum semua mendukung,” ujar Nia.
Dia menegaskan, perubahan sistemik tidak bisa diserahkan hanya pada pelaku kreatif. Ekosistem harus bergerak bersama.

Plagiarisme yang Lebih dari Sekadar Limbah
Satu tantangan yang belum banyak disorot adalah plagiarisme. Popsiklus pernah beberapa kali mengalami penjiplakan desain oleh pihak luar negeri, yang kemudian memproduksinya dalam skala besar. “Plagiarisme itu menyakitkan. Usaha kecil seperti kami rentan ditiru tanpa perlindungan berarti,” katanya.
Baca juga: Skandal American Apparel, Gagalnya Etika di Balik Brand Berkelanjutan
Namun, Popsiklus tak gentar. Ia terus menjadi inspirasi bagi gerakan desain berkelanjutan di Indonesia. Produk mereka bukan sekadar barang, tapi cerita. Cerita tentang kreativitas, tanggung jawab, dan harapan bahwa suatu hari nanti, dunia tidak lagi memproduksi limbah yang tak terurus. ***
- Foto: Instagram/ @popsiklus – Tas modular hasil upcycling karton susu karya Popsiklus, menampilkan desain fungsional, bersih, dan penuh warna. Inovasi ini tak hanya mengurangi limbah rumah tangga, tetapi juga memperlihatkan potensi ekonomi sirkular dari produk daur ulang.