Skandal American Apparel, Gagalnya Etika di Balik Brand Berkelanjutan

AMERICAN Apparel pernah dielu-elukan sebagai masa depan industri fesyen yang berkelanjutan. Produksi lokal di Los Angeles, kampanye “Made in USA”, dan janji upah layak bagi buruh, semuanya seolah menjadikannya simbol fashion etis era 2000-an. Tapi dokumenter Trainwreck: The Cult of American Apparel produksi Netflix membongkar fakta yang jauh dari slogan manis itu.

Film berdurasi 54 menit ini memperlihatkan bahwa keberlanjutan tidak cukup hanya dibangun dari narasi dan strategi pemasaran. Sustainability butuh etika dalam praktik, transparansi dalam manajemen, dan perlindungan terhadap manusia di balik label.

Etika Tak Cukup di Permukaan

Pendiri American Apparel, Dov Charney, menciptakan merek yang menjanjikan mode tanpa eksploitasi. Ia menolak outsourcing ke negara berkembang, menggaji buruh lokal, dan menyuarakan kesetaraan.

Baca juga: ‘Trainwreck’, Fakta Mengejutkan di Balik Jatuhnya American Apparel

Namun, dokumenter ini justru menunjukkan bahwa eksploitasi bisa terjadi bahkan tanpa pabrik di Asia Tenggara. Mantan staf menyebut lingkungan kerja yang toksik, tekanan berlebih, dan tuduhan pelecehan seksual yang mengakar dalam struktur perusahaan. Semua dibungkus dalam citra progresif yang berhasil memukau konsumen, hingga akhirnya runtuh.

Dari Brand Etis ke Bangkrut Berulang

American Apparel bangkrut dua kali pada 2015 dan 2016. Banyak pihak melihat kegagalan ini bukan sekadar persoalan bisnis, tapi cermin dari gagalnya tata kelola yang etis dan berkelanjutan. Dov Charney dipecat oleh dewan direksi, namun hingga kini tetap menolak semua tuduhan yang mengarah kepadanya.

Cuplikan trailer dokumenter “Trainwreck: The Cult of American Apparel”. Di balik klaim etika dan keberlanjutan, dokumenter ini mengungkap sisi gelap yang memperlihatkan rapuhnya komitmen sosial di industri fesyen.
Video: YouTube/ Netflix
.

Skandal ini membuka mata bahwa keberlanjutan sejati tidak bisa hanya diukur dari lokasi produksi atau bahan baku. Tanpa perlindungan hak pekerja dan akuntabilitas kepemimpinan, “fashion berkelanjutan” hanyalah ilusi.

Refleksi Bagi Brand Lokal di Indonesia

Banyak merek fesyen di Indonesia saat ini mengadopsi istilah “eco-fashion”, “ethical production”, hingga “fair wage”. Tapi Trainwreck mengingatkan bahwa klaim keberlanjutan harus disertai sistem verifikasi, bukan hanya strategi branding.

Baca juga: “Buy Now”, Konspirasi Belanja Massal yang Mengancam Bumi

Apakah para pekerja di balik layar benar-benar diperlakukan adil. Apakah prinsip keberlanjutan juga berlaku untuk struktur manajerial dan budaya perusahaan?

Dokumenter ini penting ditonton oleh pelaku industri, pembuat kebijakan, dan konsumen. Karena pada akhirnya, keberlanjutan bukan hanya soal lingkungan dan label “organik”, tapi soal integritas menyeluruh. Mulai dari manusia sampai manajemen. ***

  • Foto: Netflix– Iklan khas American Apparel dengan gaya sensual yang kontroversial. Di balik citra progresif “Made in USA” dan klaim keberlanjutan, brand ini menyimpan jejak kasus hukum, eksploitasi karyawan, dan budaya kerja yang jauh dari etis.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *