Kawasan Puncak di Ujung Evaluasi, Moratorium atau Revisi Tata Ruang?

KAWASAN Puncak, Bogor, kembali menjadi sorotan. Setelah banjir menerjang beberapa wilayah, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan perlunya evaluasi tata ruang di kawasan tersebut. Ia bahkan membuka opsi moratorium pembangunan guna mengendalikan dampak lingkungan yang semakin nyata.

Pada Kamis (6/3/2025) hari ini, Dedi bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq turun langsung ke lokasi sebelum mengambil keputusan strategis. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah menyeimbangkan pembangunan dengan keberlanjutan lingkungan.

Ancaman Alih Fungsi Lahan di Puncak

Salah satu sorotan utama dalam evaluasi ini adalah perubahan tata ruang di Perkebunan Gunung Mas, yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Lahan seluas 1.600 hektare di kawasan ini mengalami alih fungsi dari perkebunan menjadi agrowisata.

Perubahan ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pengalihan fungsi lahan ini memperhitungkan daya dukung lingkungan?

Baca juga: Puncak Bogor Terancam Alih Fungsi Lahan dan Banjir

Tak hanya itu, perubahan peruntukan lahan di bantaran sungai juga menjadi perhatian serius. Banyak kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan kini beralih menjadi perumahan dan permukiman. Konsekuensinya, aliran sungai terganggu, sedimentasi meningkat, dan risiko banjir semakin besar. Insiden banjir di Cijayanti, yang baru-baru ini terjadi, disebut sebagai dampak langsung dari perubahan-perubahan tersebut.

Evaluasi Bersama Pemerintah Pusat

Dedi menyatakan bahwa evaluasi ini akan melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Ia sudah menjadwalkan pertemuan dengan Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid pekan depan untuk membahas kemungkinan perubahan tata ruang di Jawa Barat secara lebih luas.

Salah satu isu yang mencuat adalah keterlibatan badan usaha milik daerah (BUMD) dalam alih fungsi lahan. Pemerintah Jawa Barat, melalui BUMD PT Jasa dan Kepariwisataan (Jaswita), ikut mengembangkan area wisata di kawasan perkebunan tersebut. Dedi bahkan meminta maaf atas keterlibatan pemerintah daerah dalam proyek ini.

Baca juga: Kepala Daerah Jabodetabek Wajib Bereskan 5 Isu Lingkungan Ini

“Saya minta maaf sebagai pemerintah provinsi Jawa Barat karena pemerintah daerah melalui BUMD Jaswita membuka area wisata di perkebunan itu. Hal ini sempat menimbulkan polemik di masyarakat, terutama karena ada bangunan liar yang roboh dan masuk ke sungai,” ujar Dedi di Gedung Pakuan, Bandung, Rabu (5/3/2025).

Evaluasi tata ruang kawasan Puncak Bogor tengah berlangsung. Pemerintah kaji dampaknya terhadap lingkungan, permukiman, dan keberlanjutan wilayah. Foto: Instagram/ @puncakbogor.id

Jika evaluasi menunjukkan adanya pelanggaran aturan, Dedi berjanji akan menutup usaha Jaswita di kawasan tersebut. “Kami bongkar kalau memang itu melanggar aturan,” tegasnya.

Realisasi Anggaran untuk Infrastruktur

Bencana alam yang terjadi di berbagai daerah di Jawa Barat, termasuk Puncak, Karawang, dan Bekasi, turut menjadi pertimbangan dalam kebijakan pembangunan ke depan. Dedi menekankan bahwa kondisi ini justru menjadi alasan untuk meningkatkan belanja infrastruktur, bukan sebaliknya.

“Efisiensi anggaran yang kami lakukan tidak akan mengurangi belanja infrastruktur. Justru sebaliknya, kami akan menambah belanja infrastruktur untuk memperbaiki daerah yang terdampak,” ungkapnya.

Baca juga: Banjir Jabodetabek dan Ancaman Tata Ruang yang Terabaikan

Langkah ini menegaskan komitmen pemerintah Jawa Barat dalam menangani dampak lingkungan akibat perubahan tata ruang yang tidak terkendali. Namun, pertanyaannya kini adalah sejauh mana kebijakan moratorium atau revisi tata ruang dapat berjalan efektif? Apakah ada keberanian politik untuk menindak tegas pihak-pihak yang selama ini menikmati keuntungan dari eksploitasi kawasan Puncak?

Keputusan Dedi dan pemerintah pusat dalam beberapa pekan ke depan akan menjadi penentu arah pembangunan di kawasan Puncak. Jika kebijakan ini diambil dengan pertimbangan matang, evaluasi tata ruang ini bisa menjadi titik balik dalam menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian lingkungan. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *