KETIKA musim hujan mulai berpamitan, sinyal bahaya datang dari langit yang kian cerah. Dalam empat bulan ke depan, sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi memasuki fase rawan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Peringatan ini disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq. Ia menyebut periode akhir April hingga Agustus sebagai masa krusial yang harus diwaspadai.
“Panas mulai terasa. Ini bukan sekadar musim kering, tapi masa rawan. Semua pihak harus bersiap,” ujarnya di Jakarta, Kamis (17/4).
Musim Kemarau Tak Bisa Dianggap Biasa
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkuat sinyal tersebut. Musim kemarau 2025 diprediksi datang bertahap, mulai dari wilayah tenggara Indonesia seperti Nusa Tenggara, kemudian bergerak ke barat—menyapu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan bahkan sebagian Papua.
“Puncaknya akan terjadi pada Agustus. Tapi beberapa daerah akan mengalami puncak kekeringan hingga Oktober,” jelas Alif Akbar dari Direktorat Perubahan Iklim BMKG dalam seminar daring KLH, Rabu (16/4).
Baca juga: Dampak Kebakaran Hutan: Krisis Asuransi dan Kerugian Ekonomi Besar di California
Meskipun kondisi iklim tahun ini tidak akan seekstrem 2023—yang dipicu El Nino—ancaman Karhutla tetap nyata. ENSO dan IOD berada dalam kondisi normal, namun suhu muka laut, arah angin muson, dan topografi akan memainkan peran besar dalam menentukan tingkat kekeringan.
Risiko Rawan Meluas
BMKG telah memetakan sejumlah wilayah yang akan terdampak lebih awal. Sebagian Lampung, Banten utara, Jakarta, wilayah barat Jawa, Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi bagian selatan termasuk dalam zona kritis awal musim kemarau.
Pada bulan-bulan berikutnya, wilayah Kalimantan, Maluku, hingga Papua mulai terdampak. Ini memperluas potensi terjadinya Karhutla di berbagai zona hutan tropis dan lahan gambut yang selama ini rentan terbakar.
Kondisi ini menuntut kesiapsiagaan lintas sektor. Pemerintah daerah, pelaku industri, hingga komunitas lokal diminta meningkatkan langkah antisipatif. Tak hanya pemadaman saat api menyala, tapi juga pencegahan sebelum bara muncul.
Perlu Strategi Mitigasi Berbasis Data
Pakar perubahan iklim mengingatkan, mitigasi Karhutla tak bisa hanya mengandalkan insting. Diperlukan peta risiko berbasis data klimatologis dan karakteristik wilayah.

Pemanfaatan teknologi pemantauan, seperti citra satelit dan sensor kelembaban tanah, bisa menjadi alat bantu yang efektif. Selain itu, edukasi masyarakat di sekitar hutan mengenai praktik pertanian ramah lingkungan juga menjadi kunci.
Baca juga: FireSat dan AI, Revolusi Baru dalam Pencegahan Kebakaran Hutan
“Perlu ada skema insentif dan pengawasan lebih kuat. Jangan sampai praktik buka lahan dengan cara bakar terus terjadi,” kata seorang aktivis lingkungan dari Kalimantan Barat.
Momentum Perbaikan Tata Kelola
Situasi ini membuka ruang untuk memperkuat tata kelola lingkungan hidup di Indonesia. Momentum musim kemarau bisa dijadikan titik awal pembenahan sistem pengelolaan kawasan hutan dan lahan.
Pemulihan fungsi hutan, restorasi lahan gambut, dan perlindungan wilayah konservasi harus menjadi prioritas. Di sisi lain, reformasi perizinan lahan untuk sektor kehutanan dan perkebunan juga tak bisa ditunda.
Baca juga: PBB: Krisis Iklim Semakin Parah, Dunia Harus Bertindak Sekarang
Dalam konteks keberlanjutan, risiko Karhutla bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga ekonomi dan sosial. Asap kebakaran bisa menutup ruang udara, mengganggu kesehatan masyarakat, dan merugikan sektor transportasi serta pariwisata.
Saatnya Berpikir Jangka Panjang
Kebakaran hutan dan lahan bukan hanya bencana tahunan, tapi cermin dari tantangan tata kelola jangka panjang. Perubahan iklim telah mengubah pola cuaca dan memperbesar risiko yang harus dihadapi.
Langkah adaptasi dan mitigasi perlu dikawal secara serius. Pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus duduk bersama membangun sistem perlindungan hutan yang adil, efektif, dan berkelanjutan.
Sebab hutan bukan sekadar pohon. Ia adalah penyangga kehidupan—yang jika terbakar, membawa dampak jauh lebih luas daripada sekadar hilangnya kanopi hijau di kejauhan. ***
- Foto: Ilustrasi/ Pixabay/ Pexels.