Media dan Lingkungan, Antara Sensasi Berita dan Urgensi Aksi

Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *

MEDIA memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman publik terhadap isu lingkungan. Dari pencemaran udara di Jakarta hingga kebakaran hutan di Sumatera, cara media membingkai berita memengaruhi respons masyarakat dan pemerintah. Namun, apakah sekadar menyebarkan informasi sudah cukup?

Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai laporan menunjukkan bahwa isu lingkungan sering kali mendapatkan perhatian terbatas di media arus utama. Menurut Pusat Kajian Media dan Demokrasi, pemberitaan tentang lingkungan cenderung meningkat saat ada peristiwa ekstrem, seperti bencana banjir atau kebakaran hutan, tetapi jarang menggali akar masalahnya.

Akibat dari itu, solusi jangka panjang sering kali terabaikan. Misalnya, pencemaran udara di Jakarta lebih banyak diliput saat kualitas udara mencapai tingkat berbahaya atau ketika ada tekanan dari masyarakat. Padahal, berdasarkan data IQAir 2023, Jakarta termasuk dalam 10 kota dengan polusi udara tertinggi di dunia sepanjang tahun, bukan hanya saat terjadi lonjakan ekstrem.

Baca juga: FireSat dan AI, Revolusi Baru dalam Pencegahan Kebakaran Hutan

Bagaimana Media Mempengaruhi Kesadaran Publik

Pola pemberitaan yang lebih menyoroti dampak ketimbang penyebab telah membentuk pola pikir publik dan kebijakan yang lebih reaktif. Deforestasi di Kalimantan, misalnya, sering mendapat perhatian media karena ancaman terhadap populasi satwa liar seperti orangutan. Namun, sisi lain dari masalah ini, seperti ekspansi industri sawit dan kayu, kurang mendapatkan eksposur yang seimbang.

Baca juga: Polusi Udara Indonesia, Mengapa Masih yang Terburuk di Asia Tenggara?

Hal yang sama terjadi pada kebakaran hutan dan lahan di Sumatera. Pemberitaan lebih banyak membahas dampak kesehatan akibat kabut asap, sementara menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lebih dari 70% kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia, termasuk industri, bukan hanya faktor alam.

Media memiliki peran besar dalam membingkai isu lingkungan dan membentuk kesadaran publik. Cara pemberitaan menentukan fokus perhatian masyarakat dan kebijakan yang diambil. Foto: Ilustrasi/ Cottonbro/ Pexels.

Isu banjir dan cuaca ekstrem juga sering kali hanya dianggap sebagai kejadian tahunan akibat hujan deras, tanpa menggali lebih dalam tren perubahan iklim dan buruknya tata kelola daerah aliran sungai yang memperburuk situasi.

Baca juga: Dampak Kebakaran Hutan: Krisis Asuransi dan Kerugian Ekonomi Besar di California

Membangun Jurnalisme Lingkungan yang Lebih Kritis

Agar dapat berkontribusi lebih dalam mengatasi krisis lingkungan, media perlu mengubah pendekatan pemberitaannya. Tidak hanya melaporkan dampak, tetapi juga menyelidiki penyebab utama dan aktor di baliknya. Penyajian informasi berbasis data dan riset bisa membantu masyarakat memahami urgensi perubahan kebijakan.

Media juga harus mendorong akuntabilitas dengan memberikan ruang bagi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perusahaan, dan komunitas lokal, untuk bertanggung jawab atas kebijakan lingkungan.

Baca juga: Alarm Polusi, Udara Sehat Kini Jadi Barang Mewah

Beberapa peneliti komunikasi lingkungan di universitas terkemuka Indonesia berpandangan, media harus lebih aktif dalam melakukan investigasi mendalam, bukan hanya bergantung pada pernyataan resmi atau liputan peristiwa sesaat.

Jurnalisme lingkungan yang kritis bisa menjadi kunci dalam mengubah kebijakan publik dan meningkatkan kesadaran masyarakat,. Baca juga: Kanker Paru di Era Polusi, Ancaman Baru bagi Non-Perokok. Dengan pendekatan yang lebih kritis dan berbasis data, media bisa menjadi katalisator bagi solusi nyata terhadap krisis iklim dan masalah lingkungan lainnya di Indonesia. ***

  • Foto: Ilustrasi/ Jane TD/ Pexels.
  • Penulis adalah Jurnalis, Pemerhati Hukum Lingkungan, Hukum Bisnis, dan Keadilan Sosial.
Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *