MELINDUNGI laut bukan sekadar urusan ekologi. Kini, pendekatan berbasis data dan ekonomi menjadi pilar penting dalam kebijakan konservasi perairan Indonesia. Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Konservasi Indonesia (KI), Rekam Nusantara Foundation, serta konsorsium LSM konservasi meluncurkan Panduan Analisis Biaya Manfaat Kawasan Konservasi.
Panduan ini hadir di tengah upaya Indonesia mencapai target Marine Protected Area (MPA) 30×45—yakni melindungi 30% wilayah laut nasional sebagai kawasan konservasi pada 2045. Target ambisius ini perlu didukung kerangka kerja yang kuat, tidak hanya dari sisi ekologi, tetapi juga dari kacamata sosial, ekonomi, dan tata kelola.
Dari Ekologi Menuju Ekonomi Biru
“Konservasi bukan hanya soal menyelamatkan ikan atau terumbu karang. Ini soal menghadirkan manfaat ekonomi yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat,” kata Direktur Konservasi Ekosistem KKP, Firdaus Agung.
Menurutnya, perluasan kawasan konservasi harus dikaitkan dengan konsep ekonomi biru dan pembangunan berkelanjutan. Setiap kebijakan perlu dilandasi hitung-hitungan yang akuntabel dan transparan. Di forum nasional maupun internasional, pemerintah ingin menunjukkan bahwa setiap rupiah yang diinvestasikan—termasuk potensi kerugian akibat pembatasan aktivitas—akan memberikan dampak manfaat yang jauh lebih besar.
Baca juga: Ekonomi Biru, Menyelamatkan Laut di Tengah Minimnya Investasi
“Kita butuh angka. Kita butuh bukti. Dan kita harus bisa menyampaikan ini dengan jelas kepada semua pemangku kepentingan,” ujarnya.
Mengelola Bukan Sekadar Melindungi
Meizani Irmadhiany dari Konservasi Indonesia menekankan, efektivitas pengelolaan MPA sama pentingnya dengan pembentukannya. Kawasan konservasi yang dikelola dengan baik bukan hanya menjaga biodiversitas, tetapi juga menyumbang pada kesejahteraan masyarakat lokal.
“Pengelolaan yang baik butuh dana. Dan di sinilah tantangan besarnya,” ungkap Meizani.

Panduan yang baru dirilis ini membantu menjawab pertanyaan klasik: berapa biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan dan mengelola MPA? Lebih jauh, ia memberikan metodologi untuk menghitung manfaat sosial ekonomi yang timbul.
Baca juga: Segitiga Terumbu Karang, Langkah 6 Negara Selamatkan Ekosistem Laut
Dari hasil analisis, pemerintah bisa menilai dampak terhadap ekonomi lokal, merancang strategi pendanaan jangka panjang, dan menutup kesenjangan antara kebutuhan anggaran dan dana yang tersedia.
Dari Dokumen ke Aksi
KI menyusun panduan ini agar bisa digunakan oleh berbagai kalangan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pengelola MPA, hingga masyarakat lokal bisa memanfaatkannya. Bahkan LSM dan akademisi pun diundang untuk menjadikan dokumen ini sebagai alat evaluasi berkala berbasis data.
“Setiap kebijakan yang lahir dari hasil evaluasi berbasis data akan punya daya tahan lebih kuat, serta lebih mudah diterima oleh publik,” kata Meizani.
Baca juga: Perlindungan Hiu dan Pari, Dukungan Inggris untuk Konservasi Laut Indonesia
Lely Pertamawati dari Bappenas menyambut baik inisiatif ini. Ia menyebut analisis biaya-manfaat sebagai instrumen penting dalam perumusan kebijakan publik.
“Dengan panduan ini, kita bisa memastikan alokasi anggaran tepat sasaran. Selain itu, dokumen ini bisa mendorong kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam menjaga ekosistem laut,” ujarnya.
Menjaga Laut, Menjaga Masa Depan
Laut Indonesia adalah kekayaan yang tak ternilai. Tapi tanpa pengelolaan yang bijak, kekayaan itu bisa hilang. Panduan analisis ini tidak hanya soal angka, tetapi tentang bagaimana kita menilai masa depan: apakah kita siap berinvestasi untuk laut yang sehat, ekonomi yang berkelanjutan, dan masyarakat yang sejahtera?
Dengan langkah ini, Indonesia memperkuat komitmennya sebagai pemimpin kawasan dalam perlindungan laut. Sebuah contoh bahwa konservasi bisa menjadi jalan menuju kemajuan, bukan beban. ***
- Foto: Ilustrasi/ Hallie Evans/ Pexels.