Pemagaran Laut Tangerang, Ancaman bagi Nelayan dan Ekosistem

MASALAH pemagaran laut di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, memicu perhatian berbagai pihak. Sepanjang 30,16 kilometer, pagar-pagar bambu berdiri, menutup akses masyarakat pesisir sekaligus memengaruhi ekosistem laut. Diskusi publik yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap banyak aspek penting yang perlu segera ditangani.

Akar Masalah Pemagaran Laut

Masalah ini bermula pada Agustus 2024, ketika tim dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten menemukan pemagaran sepanjang 7 kilometer di kawasan pesisir. Investigasi lebih lanjut menunjukkan bahwa pagar ini terus meluas hingga kini mencapai 30,16 kilometer, mencakup 16 kecamatan. Struktur pagar terdiri dari bambu setinggi enam meter, lengkap dengan anyaman dan pemberat pasir, serta area kotak-kotak di dalamnya.

Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti, menjelaskan bahwa pemagaran ini tidak memiliki izin resmi. Menurutnya, pagar-pagar ini melintasi zona pemanfaatan umum, seperti zona pelabuhan, perikanan, pariwisata, hingga rencana waduk lepas pantai yang dirancang Bappenas. “Tidak ada rekomendasi atau izin dari pemerintah desa atau camat,” tegasnya.

Dampak pada Nelayan dan Ekosistem

Keberadaan pagar laut ini mengubah fungsi ruang laut dan mengancam keanekaragaman hayati. Selain itu, nelayan lokal kehilangan akses ke laut, yang menjadi sumber penghidupan mereka. Data DKP menunjukkan ada 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya perikanan di wilayah terdampak. “Pagar-pagar ini secara langsung melumpuhkan aktivitas nelayan,” ungkap Rasman Manafii dari Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI).

Baca juga: Segitiga Terumbu Karang, Langkah 6 Negara Selamatkan Ekosistem Laut

Di sisi lain, struktur pagar berpotensi merusak ekosistem pesisir. Ruang laut yang diprivatisasi ini menutup jalur migrasi ikan dan memengaruhi ekosistem mangrove. Dalam jangka panjang, tindakan semacam ini dapat mengganggu keseimbangan lingkungan.

Polemik Hak Ruang Laut

Menurut peraturan, penggunaan ruang laut selama lebih dari 30 hari memerlukan izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Namun, hingga kini tidak ada satu pun pihak yang mengantongi izin tersebut untuk pemagaran di Laut Tangerang.

Pemagaran laut sepanjang 30 km di pesisir Tangerang menutup akses nelayan dan mengancam ekosistem laut. Foto: Youtube/ @ombudsman ri.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, Kusdiantoro, menegaskan bahwa tindakan pemagaran ini merupakan upaya mendapatkan hak atas tanah di laut secara ilegal. “Privatisasi semacam ini menutup akses publik dan mengubah fungsi ruang laut. Kami berharap solusi segera ditemukan,” ujarnya dalam diskusi publik di Jakarta, Selasa (7/1).

Upaya Penyelesaian Masalah

KKP dan berbagai pihak, termasuk Ombudsman RI, Kementerian ATR/BPN, serta DKP Banten, berkomitmen mencari solusi. Inspeksi gabungan dilakukan berkali-kali, melibatkan TNI Angkatan Laut, Polairut, hingga Satpol-PP. Hingga September 2024, pagar telah meluas hingga 13,12 kilometer dan terus bertambah.

Baca juga: Keramba Cinta Sawai di Tengah Laut Seram

Langkah preventif dan penegakan hukum menjadi prioritas. Menurut Rasman, penting untuk melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, agar masalah ini tidak berulang. “Keterlibatan nelayan dalam diskusi adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan,” katanya.

Belajar dari Kasus Tangerang

Kasus ini mencerminkan perlunya regulasi yang tegas dan pengawasan ruang laut yang lebih baik. Bagi pemerhati isu keberlanjutan, ini adalah momentum untuk mendorong kebijakan yang melindungi masyarakat pesisir dan lingkungan.

Baca juga: Bioplastik Baru, Terobosan untuk Laut Lebih Bersih

Privatisasi ruang laut bukan hanya melanggar hak masyarakat, tetapi juga mengancam kelestarian ekosistem. Pemerintah dan komunitas perlu bersinergi untuk mencegah eksploitasi ruang laut secara ilegal.

Pemagaran laut di Tangerang menjadi contoh nyata betapa pentingnya menjaga ruang laut sebagai aset publik. Kolaborasi lintas sektor dan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlanjutan menjadi kunci untuk menyelesaikan permasalahan ini. ***

Foto: Youtube/ @ombudsman ri.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *