UPAYA menyelamatkan sungai-sungai Indonesia menghadapi hambatan serius. Laporan Pemantauan Mutu Air Semester I 2025 yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan, 70,7% dari 4.482 titik pantauan di 1.482 sungai berada dalam kondisi tercemar.
Hanya 29,3% lokasi yang masih memenuhi baku mutu. Kondisi paling memprihatinkan terjadi di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Papua Selatan, yang seluruh titik pantauannya tercemar.
Situasi ini memunculkan pertanyaan, mengapa sungai-sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masih dibiarkan tercemar? Jawabannya mengarah pada lambannya eksekusi kebijakan pemulihan di tingkat pusat dan daerah.
DAS Prioritas yang Kian Rentan
KLH juga menyoroti lima Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas, masing-masing Citarum, Ciliwung, Cisadane, Bengawan Solo, dan Brantas, yang kualitas airnya kian menurun di setiap segmen pantauan.
Baca juga: Lima Sungai Jakarta Tercemar Berat, Ancaman Air Bersih di Depan Mata
Tiga di antaranya, Citarum, Ciliwung, dan Cisadane, bermuara di Teluk Jakarta, sehingga pencemaran berdampak langsung terhadap pasokan air baku ibu kota, kesehatan ekosistem pesisir, hingga kualitas hidup jutaan warga.
“Sungai bukan hanya urat nadi kehidupan hari ini, tetapi juga penentu kualitas hidup generasi mendatang,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq, Senin (29/9).

Kebijakan yang Belum Bergerak
Hanif menegaskan, pemerintah tidak tinggal diam. Namun ia mengingatkan kembali kewajiban yang diatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Regulasi ini mewajibkan pemerintah pusat dan daerah menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air (RPPMA).
Sejauh ini, baru tiga dokumen RPPMA yang selesai disusun untuk kawasan DAS prioritas tersebut.
“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, melainkan meminjamnya dari anak cucu kita. Maka tugas kita menjaga agar pinjaman itu tetap utuh, bersih, dan bermanfaat,” ujarnya.
Hanif menyerukan agar pemerintah daerah mempercepat penyusunan RPPMA sebagai langkah strategis memulihkan sungai yang kini berada di ambang krisis ekologis.
Tanggung Jawab Kolektif
Hanif menekankan, masalah pencemaran sungai tidak hanya bisa diselesaikan lewat regulasi.
Dunia usaha harus menekan limbah yang mencemari sungai, akademisi memberi solusi inovatif, media menyuarakan kesadaran publik, komunitas menjaga kepedulian lingkungan, dan masyarakat perlu mengubah perilaku membuang sampah.
Baca juga: DAS Ayung Kritis, Bagaimana Bali Menjaga Pulau Kecil dari Dampak Iklim Besar?
“Sungai adalah milik kita bersama, maka menjaga sungai juga tanggung jawab kita bersama,” tegasnya.
Ancaman bagi Pembangunan Berkelanjutan
Para pemerhati lingkungan memperingatkan bahwa krisis mutu air sungai bukan sekadar isu ekologis, tetapi ancaman bagi ketahanan pangan, kesehatan publik, dan keberlanjutan ekonomi.
Sungai menjadi sumber air irigasi, bahan baku air minum, hingga habitat keanekaragaman hayati. Jika pencemaran tak terkendali, biaya pemulihan akan melonjak dan beban kesehatan masyarakat meningkat.
Baca juga: Citarum: Sungai Kotor yang Tak Kunjung Bersih, Apa Solusinya?
Kondisi ini menempatkan perlindungan mutu air sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda pembangunan berkelanjutan. Aksi cepat, tegas, dan konsisten menjadi kunci mencegah degradasi lebih jauh.
Pemulihan sungai memang bukan pekerjaan sehari. Namun langkah kecil yang dimulai dari kepatuhan terhadap regulasi, pengawasan limbah industri, hingga edukasi publik diyakini dapat memperbaiki kualitas air.
Laporan KLH ini menjadi alarm bagi semua pihak. Tanpa intervensi nyata, sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan dapat berubah menjadi ancaman bagi masa depan. ***
- Foto: Nafan Nafonez/ Pexels – Hulu Sungai Citarum di Jawa Barat, yang menjadi salah satu DAS prioritas nasional, menyimpan tantangan besar dalam menjaga kualitas air sungai di tengah tekanan pencemaran dan alih fungsi lahan.


