Peneliti Temukan Cara Akurat Ukur Mikroplastik dalam Pangan Laut

KETIKA kita menikmati hidangan laut seperti udang, cumi, atau kerang, ada satu hal yang tak terlihat tapi mungkin ikut tertelan, yakni mikroplastik. Bukan sekadar partikel asing, mikroplastik adalah warisan tak kasatmata dari gaya hidup berbasis plastik sekali pakai. Meski menjadi perhatian global, hingga kini belum ada standar internasional yang disepakati untuk mengukur kandungan mikroplastik dalam makanan laut.

Akibatnya, hasil penelitian dari satu negara tidak bisa dibandingkan langsung dengan yang lain. Ini jadi masalah besar, terutama bagi negara seperti Indonesia, yang merupakan salah satu produsen makanan laut terbesar di dunia sekaligus penyumbang sampah plastik ke laut.

Inovasi Deteksi dari Jerman

Angin perubahan mulai berembus dari Jerman. Para peneliti di Max Rubner-Institut berhasil menyesuaikan metode pemantauan lingkungan menjadi teknik analisis makanan. Mereka menggunakan kombinasi enzim dan bahan kimia untuk melarutkan jaringan makanan laut, kemudian memisahkan partikel plastik melalui filtrasi tekanan. Hasilnya cukup menjanjikan. Metode ini bisa mendeteksi plastik seperti polietilen dan polipropilen tanpa merusak bentuk aslinya.

Baca juga: Mikroplastik di Tanah Pertanian, Ancaman Diam-diam dari Ladang Makanan Kita

Langkah inovatif lainnya adalah penggunaan pewarna fluoresen, seperti Nile red, yang membuat partikel plastik menyala saat dianalisis. Untuk membedakan dari partikel alami, peneliti menambahkan pewarna kedua yang menekan sinyal dari jaringan biologis seperti tulang atau kulit udang. Dengan bantuan teknologi semi-otomatis, ilmuwan kini bisa mengetahui jumlah, ukuran, hingga bentuk partikel mikroplastik yang terkandung dalam makanan laut.

Nanoplastik, Tantangan Berikutnya

Meski begitu, satu tantangan besar masih belum terpecahkan: nanoplastik. Partikel plastik berukuran super kecil ini sulit dideteksi karena cenderung menggumpal dan tertutup oleh lemak serta protein makanan. Artinya, potensi paparan plastik pada tubuh manusia bisa jadi jauh lebih besar daripada yang terukur saat ini.

Baca juga: Tanpa Disadari, Kita Makan Plastik Setiap Hari

Udang, cumi, dan kepiting segar yang tampak menggoda ini bisa jadi mengandung partikel mikroplastik yang tak kasatmata—tantangan nyata bagi keamanan pangan kita. Foto: Ilustrasi/ Markus Winkler/ Pexels.

Studi yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah seperti Analytical and Bioanalytical Chemistry dan Food Control juga menunjukkan bahwa mikroplastik bukan hanya masalah pada makanan laut. Partikel ini juga telah ditemukan dalam susu, daging, telur, bahkan madu. Ini menandakan bahwa paparan mikroplastik di sistem pangan jauh lebih luas daripada yang dibayangkan.

Indonesia Perlu Bergerak Cepat

Federal Institute for Risk Assessment di Jerman menyebutkan bahwa, hingga saat ini, belum ada bukti kuat bahwa mikroplastik dalam makanan menimbulkan bahaya langsung bagi kesehatan manusia. Namun mereka menegaskan, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memahami dampak jangka panjangnya. Terutama soal bagaimana partikel ini diserap tubuh dan memengaruhi sistem organ.

Baca juga: Studi Greenpeace-UI: Mikroplastik Mengancam Fungsi Otak

Untuk Indonesia, perkembangan ini bisa jadi momentum penting. Negara ini perlu segera menetapkan standar nasional dalam pengukuran mikroplastik, baik di laboratorium maupun dalam sistem pemantauan pangan. Tanpa data yang dapat diandalkan, risiko paparan mikroplastik akan tetap tersembunyi, dan upaya perlindungan konsumen sulit untuk diarahkan secara efektif.

Melalui kerja sama antara ilmuwan, regulator, dan industri pangan, Indonesia punya peluang menjadi pelopor pengawasan mikroplastik di kawasan Asia Tenggara. Karena pada akhirnya, keamanan pangan bukan hanya soal gizi, tapi juga soal kebersihan tak terlihat yang bisa berdampak jangka panjang. ***

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *